Senin, 09 Agustus 2021

ZAITUN, CAHAYA DI ATAS CAHAYA *

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/2009/09/a-short-script-zaitun-the-light-above-the-light/
 
Prolog (QS.24:35):
 
“Ia pemberi cahaya langit dan bumi.
Perumpamaan Cahaya-Nya ibarat kurungan pelita
(miskat), yang di dalamnya terdapat pelita. Pelita itu
berada di dalam kaca; kaca tersebut bagaikan bintang
cemerlang serupa mutiara, yang dinyalakan dari pohon
yang banyak berkahnya; yaitu pohon zaitun,
yang berasal bukan dari barat, dan bukan dari timur.
Yang minyaknya saja, hampir-hampir menerangi, meski
tidak dinyalakan dengan api. Cahaya di atas segala cahaya!”
 
 
I. Pembuka
 
(Seorang pengembara muda berjalan di atas panggung,
ia berkata):
 
Segarlah kepemudaanku yang baru mekar,
embun arang di wajah mawar hitam bergulingan
ketika angin sekutu serentak menikam para papa,
dengan mata gemerlap menyetubuhi ruang hampa.
 
Akukah gembel yang malang itu?
Mengembala domba-domba tak berkepala,
dan para cacing busuk dalam perut ibundanya.
 
Saatnya memang,
menggelandang dari gang-gang kota,
makan dari sampah harapan para angkara;
makin dalam pekat kelopak-kelopak hatimu
di tepian pantai jalanan itu.
 
Tanganku tergores duri-duri kaktus,
liar-meliar di pebukitan karang;
pedihnya ke segenap penjuru,
menangis ke sudut cakrawala,
dan bola-bola mata menjadi nanar,
tak ubahnya fajar tersentak
oleh harkat yang nisbi,
diam!
 
(cahaya memfokus di layar menyerupai bulan,
ia melanjutkan kata-kata):
 
Tubuh-tubuh pepohonan mati meranggas,
jarum-jarum rumput mematahkan kalbu bulan,
di setiap wujud menandaskan kematian,
di setiap degup menandaskan kelahiran;
aku menjelma, bagianmu yang hantu.
 
(Pemuda itu menemukan uang logam,
lalu mengamati, dan diteruskan ucapannya):
 
Sepasang wajah tak mungkin bertemu,
walau sejatinya menyatu;
adakah tangis di lempengan ini,
kecintaanmu yang malu?
Benarkah ini wajah Tuhan?
Atau raut kekasihku yang lenyap oleh peredaran?
 
Yang datang dari kutub utara dan selatan,
yang dari pegunungan timur maupun barat,
kemarilah, ke lembah ngarai peradaban;
pasar kebudayaan menantimu,
walau membeli pertukaran kasih.
Alamlah,
yang semayamkan kehendak utuh
kepada relung terdalam.
 
(jantungnya keras berdegup kencang,
ia memegangi dadanya lalu lemas, lantas
kembali bangkit dari kehitaman panggung.
Dan sorot lampu remang perlahan menerangi
wajah pucatnya, ianya melanjutkan kata-kata):
 
Akulah anakmu, wahai kehidupan abadi,
di sini tempatnya, ‘balung’-belulang ditempa api,
di jalanan malam menyala,
hingga dendam memupus,
serupa buah randu sedang menua,
mengeluarkan kapuk-kapuk beterbangan;
menghampiri langit, menuju kerajaan-Nya.
 
Gelombang samudra pada ketinggiannya,
awan pukul nan menghempas
di awang-‘uwung’ dunia panggung,
sejauh hasrat jaman biru memutih
di samping diri manusia yang pergi.
 
(seorang wanita menghampirinya, seperti tersesat,
dan didekatinya lelaki malang itu sambil berucap):
 
Aku dengar, bisikan sang waktu, katanya segera datang,
ribuan cahaya terang kunang-kunang menari di udara;
inikah jawaban, atau masih petanda?
 
Di setiap tingkatan itu rona,
ketika pipi terkelupas asmara;
sayap bebuku mengatup di belahan jemari,
menjelma mutu manikam di saku renungan.
 
Biasanya kulewati derita dahan; kata angin itu,
menelusup pada kejauhan matamu,
menjangkau rindu dengan kecurigaan.
 
Inikah perhatianmu yang malang?
Memandang bukit berpelukan kenang?
 
(lelaki itu menimpali dengan kata-kata):
 
Pebukitan yang mengelilingi kediamanmu,
itu cawan ganjil bagimu;
setetes embun segelas samudra,
menimang hati nan jauh dirimu,
 
air putih serta senyum paling perawan kau suguhkan,
sosok itu melayang-layang di awan, entah ke mana
sekarang, hanya angin kukenal, melekat di badan.
 
(sang gadis itu menandaskan kata):
 
Kedewasaanmu tidak mungkin melupakan itu,
tarikan nafasmu-nafasku tetap sama,
bersatu dalam sukma merajah.
 
(lelaki itu menjawab):
 
Ya benar, kita dari ketinggian timur dan barat,
serupa minyak zaitun cemerlang tanpa nyala api,
sebab si setan belang tak sanggup menjangkau kemari.
Inilah daerah kekuasaan iman;
keyakinanku manunggal,
bimbangku mandek menstupa.
 
Kuceritakan segala kerahasiaan jiwa,
agar engkau mawas di depan cermin,
Eva Braun, Balkis serta Roro Jonggrang,
akulah Hitler bengis itu, Sulaiman yang setia,
atau Bandung Bandawasa yang meludahi tanah.
 
Ku usung kerajaan jiwamu, hingga kau tak memilikinya,
dan mereka, membawa nafasmu hadir kemari.
 
(wanita itu menangis tersedu,
sambil berkata dengan khidmat):
 
Menuruni lembah-lembah kecilku, tanganmu merentang,
keringat menguap, jantung memberi melodi,
dan darah tandas tak tersisa.
 
Wahai sahabat jamanku, hisaplah jiwa kekasihmu ini;
aku kini menjelma ibunda keabadian,
di atas anak-anakkan rambutmu sampai kepadaku,
 
sepi kuwarisi, mengikuti daun-daun terjatuh
di pekuburan sesal kemboja,
siapa mencubit, tak lagi temukan getahnya.
 
(lalu lelaki itu menyaut):
 
Yang dari satu kutub, tidak mau meleburkan diri,
dirinya selalu tak sempurna, walau ribuan kitab ia pelajari;
di dekatku tetap seperti orang buta atau tersesat, dan aku
tidak akan membukakan pepintu,
tetapi, terimalah ini perempuanku,
selogam mata uang perak bukan penolakan,
yang kutemukan di tengah jalan kembara.
 
(lelaki itu memberikan sekeping uang tersebut,
sambil menekan kata-kata):
 
Genggamlah kuat-kuat,
bahwa timur dan barat tak kan bertemu,
kutub utara serta selatan, selamanya begitu.
Tetapi ini, dalam satu mata uang yang sama,
aku sebut sebagai perjodohan duniawi.
 
(wanita dan lelaki itu tiba-tiba kesakitan,
terjatuh lalu mati,
hanya kedua tangannya saling bertemu,
oleh selogam mata uang takdir).
 
 
II. Bercampur
 
(dalam satu keranda ada dua mayat,
sang pengembara, dan wanita tersesat.
Keempat pemikul keranda serentak berucap):
 
Bukti setia adalah ajal,
bukti pertemuan, yang tak terpisahkan.
Kita panggul jasad yang mati,
demi sebuah damai yang hilang;
keduanya saling mengisi kekosongan,
yang menyulam arti, memberi makna kemudian.
 
Mereka telah tahu, realitas dan misteri bersulaman,
tak ubahnya angan dan fikiran. Mereka jua mengerti,
hidup senantiasa di dalam waktu-waktu percobaan,
demi mengekalkan kesejatian tujuan serta harapan.
 
Dan mereka pun faham, dunia bukan segala-galanya,
hanya yang sungguh-sungguh menuju batas akhir,
menemukan –kebenaran- kilauan cahaya-Cahaya.
 
Kita pendam nantinya di dalam lubang penantian,
penangguhan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan.
 
Ternyata yang paling berharga di dunia adalah ruh;
nafas-nafas yang sanggup menafaskan kepada sesama.
 
(keempat pemikul keranda, simbul orang timur
dan orang barat, yang tak mungkin bersatu,
kecuali dalam pesta kematian).
 
 
III. Peleburan
 
(kedua pengantin kematian itu duduk-duduk
di kursi goyang ‘surga.’ Sang perempuannya
membawa kipas, lelakinya memegang sapu tangan,
dan empat bidadari datang kepada kedua mempelai).
 
(bidadari pertama menyuguhkan;
sekuntum kembang, segelas anggur merah,
seunting padi, dan sebutir telur).
 
(bidadari kedua menyuguhkan;
seranting pohon waru beserta daun-daunnya,
selembar bulu elang, dan segenggam debu).
 
(bidadari ketiga menyuguhkan;
lembar-lembar kertas, sebotol tinta,
secangkir embun, secawan salju).
 
(dan bidadari ke empat menyuguhkan;
segelintir kerikil, sebilah pisau, seekor burung
tersembelih, yang masih segar darahnya,
beserta sebuah apel ranum).
 
(bidadari pertama berkata):
Sekuntum kembang itu kalbumu,
segelas anggur merah perbincanganmu,
seunting padi, sebutir telur
adalah wujud ketulusanmu.
 
(bidadari kedua berkata):
Seranting pohon waru beserta daun-daunnya
adalah sayap-sayap kasih sayangmu,
selembar bulu elang sebagai penamu,
dan segenggam debu, asal muasalmu.
 
(bidadari ketiga berkata):
Lelembaran kertas itu usiamu,
sebotol tinta sebagai perjuanganmu,
secangkir embun, tangisan-tangisanmu,
dan secawan salju itu wujud keiklasanmu.
 
(dan bidadari ke empat berkata):
Segelintir kerikil ibarat rembulan atau matahari,
sebilah pisau itu simbul fikiranmu, dan tidakkah
seekor burung tersembelih itu kepasrahan nuranimu,
sedangkan sebuah apel ranum sebagai penyempurna.
 
(lelaki itu berdiri dari kursi goyang, lalu berucap):
 
Segalanya dari ‘kekosongan,’ ketiadaan yang suci,
menuju kepada kehendak-kehendak;
menuangkan anggur di dalam gelas piala,
busanya ke segenap jemari tangan mereka.
 
Dengan sapu tangan ini, kuusap,
betapa basah mereka kekasih
(ia memanggil kekasihnya):
 
Kipasilah lehernya yang hampir putus,
dikarena melihat ketinggian capaian kita.
 
(lelaki dan perempuan itu serentak berucap):
 
Kita di atas tanjung karang paling mulia,
di bawahnya gemuruh ombak dan tepuk tangan;
kita dinaungi, oleh Cahaya Keilahian yang pertama.
 
2001, Nagan Lor 21, Yogyakarta.

*) Pernah dipentaskan Kelompok Teater Tiang di UNEJ & IAIN Surabaya pada bulan Juli 2007, atas tangan sutradara Tomtom (almarhum). http://sastra-indonesia.com/2008/12/zaitun-cahaya-di-atas-cahaya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar