Jumat, 23 Oktober 2020

MENYAIRKAN, MENYIARKAN

Dedy Tri Riyadi *

Ada guguran salju di bukit-bukit itu!

Dan seluruh diriku ada dalam genta-genta.

Yang kelonengnya tak bisa menyelamatkan siapapun dari jurang!

(Penjelajah, Osip Mandelstam, 1912)

SAYA menerima sebuah buku puisi berjudul "Bunga, Kupu-kupu, Mimpi dan Kerinduan" karya Wirja Taufan yang merangkum puisi-puisinya dengan bertanggal tahun 1983 sampai 2020. Hal ini mencerminkan sudah lumayan panjang laku kepenyairan yang telah ditempuhnya. Wirja Taufan, yang berdasarkan epilog yang ditulis oleh sastrawan Damiri Mahmud, juga pernah menggeluti profesi lain selain menyair yaitu penyiar radio (tepatnya RRI).

Seorang penyair, seperti petikan puisi Osip Mandelstam yang saya kutip di atas, adalah benar sebagai seorang saksi zamannya. Ia hendak berbuat sesuatu untuk apa yang ia saksikan. Dalam puisi itu, tersirat bahwa ia sepenuhnya berada dalam genta dan membunyikan tanda bahaya (genta, bel). Meskipun ia juga sadar belum tentu hal itu bisa menyelamatkan seseorang. Hal ini berarti meski mengetahui pengaruh puisinya pada orang lain belum tentu terlihat secara nyata tapi penyair akan selalu menjadikan puisi-puisinya sebagai hal yang punya pengaruh. Semacam kentongan yang dibunyikan dititir (dipukul berulang) empat kali saat datang banjir bandang. Tetapi, apakah hal semacam ini berlaku juga untuk seorang Wirja Taufan?

Mari kita baca satu puisi Wirja Taufan berikut ini;

Aku Tulis Puisiku di Setiap Daun

Aku tulis puisiku di setiap daun

Agar bila layu dan gugur, melayang diterpa angin

Menembus awan

Mencapai bulan dan matahari

 

Ada satu dua yang jatuh ke air

Mengikuti gerak air, berlari dan menari

Menemui Yassin, Chairil, Tardji

Dan entah siapa lagi yang aku lupa

Hibuk mengkhatamkan kaji

 

Sebegitu nikmatnya pertemuan itu

Tarian air membuat tangan-tangan puisiku menari

Saling menggapai, saling menggenggam

Merajut makna yang hilang

 

Wow, kata-kata saling melompat semaunya

Menelanjangi diri

Berenang dan menyelam

Menyusuri lautan kesunyian

Medan, 2014

Meski, barangkali, ini bukan puisi yang paling kuat di dalam buku puisi tersebut tapi saya anggap ini yang paling mewakili, mengingat di buku ini, sudut pandang aku lirik begitu kental dan dominan. Ada; Aku yang ngembara (pada puisi Tak Sesiapa Kecuali Aku), Aku menyapamu... (Selamat Siang Apa Kabar Kotaku), Aku menunggumu... (Kenangan di Depan Tugu Perjuangan 1945 Binjai), Aku melihat potongan kebohongan... (Nyanyi Sunyi Amir), dll. Memang tidak semua puisi menggunakan sudut pandang aku lirik, ada juga digunakan “kita” dan “ia.” Hal yang juga menjadikan puisi ini saya anggap sebagai puisi yang paling mewakili puisi-puisi lain dari buku ini adalah pernyataan, “Aku tulis puisiku di setiap daun,” di mana kata “daun” bisa dianggap mewakili apa saja yang bisa dijadikan tema atau pokok pikiran penyairnya. Semisal Rakhine untuk tentu untuk memuisikan para pengungsi Rohingya dari Myanmar, sebuah tugu (Tugu Perjuangan 1945 Binjai), perang di Yaman, sebuah gambar (Vignet), gempa (di Pidie Jaya, Aceh), sebuah sungai (Sungai Deli), buah tomat (Walau Seperti Tomat), bahkan sebutir obat sakit kepala (Segelas Air Putih Obat Pusing).

Pencarian cara ucap yang khas juga menjadi pergulatan yang ditampakkan oleh Wirja Taufan dalam puisi di atas. Ia merujuk Yassin, Chairil, Tardji, dan di puisi yang lain ia juga menyelipkan Amir Hamzah, sampai-sampai kegelisahannya itu ia tulis sebagai puisi yang dijuduli “Siapakah yang Ditunggu, Siapakah yang Menunggu” yang bait terakhirnya begini;

Siapakah yang ditunggu

Siapakah yang menunggu

Kau atau aku

Taufan…

Taufan…

Tak lari aku darimu

Tak lair kau dariku

Ini menunjukkan di samping ingin memberitahu kepada pembaca puisi-puisi yang ia tulis sudah sangat khas dirinya sekaligus menggugah keberanian di dalam dirinya sendiri untuk menerima “beginilah cara khas saya menulis puisi.”

Jika hal ini diterima, maka kita sebagai pembaca pun akan menerima hal yang berikutnya. Di dalam puisi “Aku Tulis Puisi …” tadi, ada larik yang berbunyi, “Wow, kata-kata saling melompat semaunya” yang menunjukkan tentang kompleksitas kata di dalam puisi-puisi di dalam buku ini. Sebutlah puisi itu sendiri di mana daun gugur bisa menembus awan menjangkau bulan dan matahari. Atau pada puisi berjudul “Cinta di Tanah Airku” bait ke dua yang bunyinya;

Malam memelukku

Mengusap mataku yang terbuat dari sungai

Memberi aku jiwa untuk dapat bermimpi kembali

Merasakan cinta di tengah lautan bunga

Lampu-lampu kota berlarian

Di tanah airku. Seperti kupu-kupu meninggalkan

Sayapnya. Tersesat di keramaian

Pintu dan jendela yang terbuka dan tertutup

Semuanya

Pada puisi ini terlihat betapa kompleks penggambaran yang dilakukan, ada malam, sungai, bunga, lampu kota, kupu-kupu, pintu dan jendela. Seingat saya, kompleksitas kata atau metafora bertumpuk digunakan untuk memberi penekanan yang begitu besar / dalam pada perasaan yang hendak disampaikan. Jika dalam puisi beat digunakan hal-hal yang begitu bertautan, tidak berlepasan.

Dari 65 puisi yang ada dalam buku ini, sepembacaan saya hanya ada dua buah saja yang ditulis dengan gaya seseorang yang tengah berbicara lengkap dengan kalimat sapaan “Selamat Pagi” atau “Selamat Siang.” Padahal gaya semacam ini bisa dieksplorasi lebih jauh oleh seorang penyair radio seperti halnya David Ross, yang penyair dan penyiar. Sebagai contoh, berikut puisi berjudul “No One is Boss” karyanya;

No One is Boss

Its cold, its dark,

The wounds prolonging stings sting,

As the sharp but slow tongue of the slimy stalker stabs.

 

When is the time I get to choose?

When is the time I get to live?

When is the time I don’t always have to always give?

 

Look sharp, stand tall,

All I am is a mule,

Working for the opposing team,

Knowing I will never lead.

 

The one point of my existence,

Is to be controlled by others who think they are in control,

No one is boss,

All we do is follow.

Puisi ini terasa begitu deskriptif dan sugestif, layaknya seorang penyiar menggambarkan sesuatu dan bertanya atau memberi pernyataan pada pendengar. Sama-sama menyoal luka dan kuasa, bandingkan dengan puisi Wirja Taufan dalam buku ini;

Catatan Luka

Biarkan aku menyelesaikan puisiku

Katamu di suatu senja, di sebuah taman terbuka

Hujan membasahi tubuhmu

Melubangi setiap luka di dadamu

Angin kencang melambai-lambaikan rambutmu

Bersama seribu doa yang berhamburan

Melebur ruang dan waktu

Medan, 2014

Pada puisi Catatan Luka, Wirja Taufan memindahkan penginderaan suasana yang didahului dengan pernyataan sikap atau merebut kuasa dari keadaan di dalam puisi itu dengan mengatakan “Biarkan aku…” Sebaliknya, pada puisi No One is Boss, David Ross justru memindahkan kuasa kepada pembaca dengan mengemukakan beberapa pertanyaan setelah sebelumnya diberikan penginderaan suasana atau penggambaran tentang sesuatu, Pada bagian akhir, meski terlihat, baik David Ross maupun Wirja Taufan, seolah hanya memberi paparan atau keterangan, tetapi puisi No One is Boss memberi simpulan yang tegas (All we do is follow).

Berkenaan dengan tugas kepenyairan, sesungguhnya Wirja Taufan mengerti betul beban yang ditanggung oleh seorang penyair di dalam kehidupan berbahasa. Hal ini ia nyatakan lewat puisi yang ditujukan kepada Sastrawan Damiri Mahmud yang berjudul “Sampai Puisi Mengeja Bahasa.” Menurut hemat saya, ini agak kontradiktif mengingat puisi justru menggunakan piranti (ber)bahasa sehingga menimbulkan bahasa yang unik bahkan puisi itu meningkatkan nilai (ber)bahasa alih-alih dianggap terbata-bata di hadapan bahasa itu sendiri. Namun jika dimaksudkan sebagai proses diri untuk bisa dengan lancar menggunakan piranti bahasa (dan alat puitika) mungkin pernyataan tersebut bisa sangat dimaklumi. Terlebih jika dikaitkan kembali pada soal pengucapan khas yang ingin ia pastikan sebagai pengucapan khas milik Wirja Taufan sendiri.

Satu lagi yang menarik dari buku ini; dalam puisi “Sungai yang Membanjiri Hari-hari Pelukanku” ada dua larik yang jika digabung berbunyi, “Aku suka kegilaan bahasaku. Sebuah puisi akan selalu melahirkan teori-teori baru,” memberi kesan bahwa kecintaan pada bahasa (gila dalam arti positif) akan menghasilkan puisi-puisi yang unik untuk kemudian bisa menjadi perhatian para kritikus atau mendapat apresiasi. Meski terkesan naif, pernyataan ini justru harus bisa dijawab di kemudian hari oleh Wirja Taufan sendiri, sejauh mana kegilaan itu meningkatkan kemampuannya dalam menyair? Harapan saya, seperti komitmennya sendiri, Wirja Taufan akan terus mengulik dan mengasah banyak hal di luar hujan, sungai, bunga, kupu-kupu, mimpi, malam, laut, bulan, matahari dan lainnya yang sudah terlalu sering digunakan oleh para penyair kita.

Jakarta, 4 September 2020

*) Dedy Tri Riyadi, lahir di Tegal 16 Oktober 1974. Bergiat di Komunitas Paguyuban Sastra Rabu Malam (PaSaR Malam) sejak tahun 2007, dan sebagai redaktur puisi di Majalah Litera. Karya-karyanya dimuat di surat kabar nasional dan daerah. Buku puisi tunggalnya; Gelembung (2009), Liburan Penyair (2014), Pengungsian Suara (2016), dan Berlatih Solmisasi (2017). Dedy dinobatkan menjadi Penyair Muda Berbakat Terbaik versi situs Basabasi.co tahun 2018. https://sastra-indonesia.com/2020/10/menyairkan-menyiarkan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar