Sabtu, 08 Desember 2018

Eka Kurniawan di New York; Merayakan Kembali 'Cantik Itu Luka'

T Agus Khaidir *
harian.analisadaily.com

TAHUN 2003 kalau tidak si­lap mendekati akhir, saya per­tama kali menemukan ‘Cantik Itu Luka’. Saya sebut menemukan ka­rena saya memang mendapati­nya secara tidak sengaja. Waktu itu saya hendak mencoba perun­tu­ngan mengubek-ubek buku-buku bekas yang dijajar bertum­puk-tumpuk di lapak-lapak peda­gang buku di kawasan Kwitang, Jakarta.

Saya beberapa kali beruntung mendapatkan buku bagus yang bi­sa saya tebus lebih murah em­pat-lima kali lipat dari harga se­mestinya. Siapa tahu, harap saya, keberuntungan itu berulang dan ternyata memang demikian. Be­danya, waktu itu saya tak menya­darinya sebagai sebuah keberun­tungan dan dengan luar biasa go­blok. Saya meminjamkan buku itu kepada orang lain dan tentu sa­ja tak kembali.

Padahal buku itu adalah edisi cetak pertama ‘Cantik Itu Luka’. Edisi pertama yang dicetak ter­batas lantaran biaya cetaknya se­bagian besar ditanggung penulis­nya, Eka Kurniawan. Barangkali lantaran modal yang cekak, novel ini pun sungguh jauh dari tampilan menarik.

Jangan bicara soal artistik. Sampulnya akan langsung meng­ingatkan pada novel-novel picisan yang marak di tahun 1980-an. Me­riah, penuh dengan warna-war­na mentereng dan karenanya norak. Tentu saja, potret seorang perempuan yang barangkali inginnya dipersepsikan anggun. Jatuh jadi kampungan lantaran gaun yang kelewat gombrong dan terbuka pula di bagian bahu.

Jika ada yang membedakan no­vel itu dengan novel-novel pi­cisan lain yang bertumpuk di se­kitarnya, adalah ketebalannya yang luar biasa. Betapa tidak, dengan ukuran font 10 dan jarak antar spasi yang rapat, halaman novel ini menyentuh angka 517.
Kalimat pertama dalam ‘Can­tik Itu Luka’ berbunyi: “Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian.”

Satu tipikal novel horor ala Ab­dullah Harahap. Belakangan Eka memang “menggila-gilai” pe­nulis yang “misterius” ini. Dia membuat sejumlah cerita pendek yang ide serta alurnya banyak berangkat (atau meminjam?) alur dalam kisah-kisah horor Abdul­lah.

Bersama Intan Paramaditha dan Ugoran Prasad, mengumpul­kan cerita-cerita pendek mereka yang bernafas serupa dan mener­bitkannya dalam bentuk buku ber­judul ‘Kumpulan Budak Setan’.
Cantik Itu Luka ditulis sebelum Eka menekuni Abdullah Harahap dan sejatinya memang bukan no­vel horor. Anda yang pernah mem­baca Franz Kafka, memba­ca Metamorfosis? Tentu tak lupa pada kalimat pembuka novel itu dan merasa betapa besar penga­ruh­nya terhadap novel Eka: “Kala Gregor Samsa terjaga di suatu pa­gi dari mimpi‑mimpi buruknya, dia menemukan dirinya berubah menjadi seekor kecoa yang me­nakutkan.”
Bergerak dari paragraf pem­bu­ka, Cantik Itu Luka mengalirkan fragmen-fragmen yang serba tak terduga. Aneh, fantastik, lucu, na­mun tak jarang sungguh kurang ajar tingkat kengibulannya, hingga siapapun yang membacanya akan tergelak.

Eka dengan seenak perut men­campuradukkan antara yang fiksi dengan yang fakta. Antara yang re­alis dan surrealis. Ada Halimun­da, negeri yang tiada jelas letak­nya di mana. Merayakan kemer­dekaan pada 23 September 1945, atau satu bulan lebih enam hari dari hari kemerdekaan Indonesia.

Apakah Halimunda sebenar­nya adalah Indonesia? Tidak tahu. Ada komunis di sana. Ada partai komunis yang disebut dengan PKI pula. Ada pendudukan Belanda dan Jepang.

Begitulah, Cantik Itu Luka men­jadi sebuah bentuk lain dari sejarah. Tepatnya sejarah fantasi (atau fantasi sejarah?). Barangkali Eka hendak menggugat perihal se­jarah di negeri ini (Indonesia) yang begitu mudah dipelenceng­kan dan diputarbalikkan. Barang­kali dia hendak mengulang apa yang pernah dilakukan Kafka atau Gabriel Garcia Marquez. Si pe­nulis Kolombia yang menciptakan Mocondo, negeri antah barantah yang menjadi tempat orang-orang ajaib menjalani kehidupan serba ajaib.
Tak semua pihak bisa meneri­ma ketengilan Eka. Terutama di ka­langan akademisi sastra. Se­jumlah kritikus menilai karya ini sebagai “karya gagal seorang pe­nulis pemula yang ambisius”. No­vel Cantik Itu Luka disebut tidak manut terhadap hukum sejarah (for­mal). Inovasi yang hanya se­ka­dar berbeda, tak memiliki lan­das­an estetika yang kukuh karena itu jatuh pada kubangan ma­in‑ma­in yang ngawur.

Kesimpulan kritikus: novel ini tak lebih dari sekadar air bah yang mengalir deras tak terken­dali. Berat (untuk tidak menyebutnya tak mungkin) beranjak menjadi monumen sejarah sastra, lebih dekat pada artefak tak bermakna.
Seingat saya, terjadi banyak per­debatan atas penilaian ini. Para penulis muda, juga kritikus-kri­tikus underground, ramai-ramai membela Eka. Debat berlangsung di forum terbuka maupun lewat balas-berbalas esai di media mas­sa. Eka sendiri tak banyak bicara. Tahu-tahu, dua tahun kemudian, buku kualitas cetak stensilan ini di­cetak ulang oleh perusahaan pe­nerbitan terbesar di Indonesia. Di saat hampir bersamaan, pe­nerbit di Jepang menerjemah­kan­nya sebagai Bi Wa Kazu.

Kemudian, setelah sempat di­cetak ulang dengan desain sampul baru pada 2011 dan diterbitkan di Malaysia dalam Bahasa Melayu, percakapan perihal Cantik Itu Luka tidak lagi terlalu riuh. Eka kembali menulis cerita-cerita pen­dek dan menerbitkan dua no­vel lain yang tidak kalah menghe­bohkan. Terutama sekali yang ter­akhir, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Novel se­mi erotis yang sepanjang kisah ber­cakap-cakap nakal perihal bu­rung (baca: alat kelamin laki-laki) yang merajuk. Enggan hidup pas­ca dipaksa terlibat dalam satu pe­ristiwa pemerkosaan paksa.

Tiba-tiba (saya sebenarnya ti­dak yakin apakah frasa ini cocok digunakan) kejutan besar terjadi. Cantik Itu Luka dialihbahasakan ke bahasa pergaulan internasio­nal, Bahasa Inggris. Tentu selama ini, sudah banyak karya sastra In­donesia yang diterjemahkan ke Bahasa Inggris.

Belum pernah ada yang dilirik oleh New Direction Publishing, perusahaan penerbitan besar di Ame­rika Serikat yang banyak me­nerbitkan buku-buku bermutu tinggi. Tak terkecuali karya-karya sastra.

New Direction sangat selektif. Selain karya-karya penulis ter­kemuka Amerika dan Eropa, me­reka juga menerbitkan karya-ka­rya penulis Amerika Selatan, Ti­mur Tengah dan Asia. Buku karya Eka Kurniawan merupakan ka­rya pertama penulis Asia Teng­gara yang diterbitkan di perusa­haan yang didirikan tahun 1936 ini.

Bukti keselektifan New De­rec­tion langsung terbukti. Beauty Is A Wound, terjemahan Cantik Itu Luka, mendapatkan banyak review positif. Termasuk dari dua kolom review paling bergengsi di dunia. New York Times Book Re­view dan The New Yorker Book Review. Eka Kurniawan diundang ke New York, berbicara di depan fo­rum sastra dan profilnya dimuat di New York Times.

Demikianlah Cantik Itu Luka ternyata sampai pada titik yang ba­rangkali tidak pernah dibayang­kan oleh siapapun. Tidak oleh kri­tikus, oleh pembaca, bahkan mungkin oleh Eka Kurniawan sen­diri. Saat ia merogoh koceknya untuk menerbitkan novel ini untuk pertama kalinya di tahun 2002.

Dia tidak membayangkan Cantik Itu Luka dapat membawa­nya jauh terbang ke New York. Dibahas New York Times dan The New Yor­ker, tempatnya per­ta­ma kali membaca Marquez dan Jose Luis Borges. Dua penulis Amerika Se­latan yang membuat­nya jatuh cin­ta pada dunia kepe­nulisan. Mereka menyebutnya se­bagai The Next Pramoedya. Eka menolak sebutan itu. Menurut dia, Pramoedya terlalu besar untuk di­bandingkan dengan dirinya.

“Pramoedya Ananta Toer ti­dak akan menulis perempuan de­ngan cara seperti yang saya laku­kan. Dia punya gaya tersendiri yang tak bisa diikuti oleh siapa­pun,” ujarnya.

Tentang Cantik Itu Luka, Eka mengatakan waktu itu hanya pu­nya satu keyakinan sederhana. Apa yang ditulisnya bagus dan la­yak dibaca orang.


*) Wartawan kemarin sore dan tukang foto sekadar. Sesekali ikut-ikutan menulis sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar