Ahmad Zaini *
“Kang, pokoknya saya ingin menjadi caleg
lagi,” kata Narti dengan nada merayu.
“Jangan,
Dik Narti! Jangan mencalon mendaftar sebagai caleg lagi. Kita sudah tidak punya
apa-apa,” ungkap Parlan melarang istrinya yang masih bersikukuh ingin
mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif.
Suami
istri ini setiap hari selalu beradu sikap. Narti yang tahun lalu sudah gagal
menjadi anggota legislatif tetap ngotot ingin mencalonkan diri lagi. Sedangkan
suaminya sudah tidak menghendaki lagi istrinya maju sebagai calon anggota
legislatif.
“Kita
sudah tidak mempunyai modal lagi. Sawah, kebun, bahkan mobil yang baru lunas
kreditannya sudah lenyap untuk modal pencalegan kamu lima tahun yang lalu.
Kalau kamu ngotot ingin maju lagi, saya tidak mampu,” kata Parlan memberikan
penjelasan kepada Narti yang duduk murung di sampingnya.
Narti
diam. Ia masih tetap berusaha mencari cara meluluhkan hati suaminya agar
merestuinya mendaftar menjadi caleg lagi. Wanita setengah baya namun
penampilannya masih seperti gadis remaja ini menggeser tempat duduknya. Ia
lebih mendekat kepada suaminya. Tangannya yang lembut mencoba membelai rambut
suaminya yang sebagian menutupi dahinya. Namun dengan cepat tangan suaminya
menolak belaian tangan istrinya. Rupanya Parlan sudah mengetahui akal bulus
istrinya yang ingin meluluhkan hatinya.
“Kenapa,
Kang?” tanya Narti.
“Aku
tahu maksudmu membelai rambutku. Engkau pasti ingin meluluhkan hatiku agar aku
bersedia merestui pencaleganmu. Tidak Dik Narti. Sekali tidak tetap tidak. Aku
sudah kapok dengan pencalganmu pada pemilu yang lalu.”
“Jangan
putus asa, Kang! Memang tahun lalu saya kurang beruntung. Pemilu tahun ini saya
yakin pasti menang.”
“Heh,
menang? Jangan bermimpi, Dik Narti! Yang menyebabkan seseorang akan memenangkan
pemilihan calon legislatif itu bukan kecantikan atau kepintaran. Uang yang akan
berbicara. Semakin banyak uang yang dikeluarkan, semakin besar peluang
seseorang menjadi anggota legislatif.”
Sesaat
suasana hening. Kedua orang yang berbeda sikap ini mencari dasar untuk
memenangkan debat. Narti yang keranjingan menjadi anggota legislatif terus
melancarkan jurus-jurunya untuk menaklukkan hati Parlan, suaminya. Parlan
sendiri tidak tinggal diam. Ia mencari jurus jitu untuk menyadarkan istrinya
agar tidak nekat mendaftar sebagai caleg lagi.
Bagi seorang suami seperti Parlan, memang sangat
keberatan merestui istrinya menjadi calon anggota legislatif. Selain masalah
dana, juga menyangkut masalah harga diri sebagai suami. Seorang suami merasa
tidak mempunyai harga diri jika istrinya sering keluar dengan rekan satu partai
yang kebanyakan laki-laki. Dan ini sudah terbukti pada pemilu sebelumnya. Narti
sering mengadakan pertemuan dengan sesama caleg dari satu partai kemudian
mereka berkunjung ke daerah-daerah yang menjadi basis pemilihnya. Tengah malam
atau bahkan dini hari Narti baru pulang dengan diantar rekan-rekannya yang
mayoritas laki-laki itu. Hal seperti ini masih sangat tabu bagi masyarakat awam
yang tinggal di perdesaan yang mayoritas nilai religinya masih sangat kental.
“Sudahlah,
Dik Narti, jangan berpikir lagi tentang caleg! Lebih baik kita memikirkan
bagaimana membiayai dua anak kita yang kini masih duduk di bangku perkuliahan.
Mereka butuh dana banyak untuk menyelesaikan studinya.”
“Urusan
biaya kuliah mereka kita pikirkan nanti saja. Yang terpenting bagaimana kita
mempunyai dana untuk pencaleganku ini.”
“Lagi-lagi
caleg, lagi-lagi caleg! Aku tidak mau mendengar kata-kata itu lagi. Kamu ini
wanita, tidak baik terlalu disibukkan urusan-urusan begitu!”
“Lha,
kenapa tahun lalu Kakang merestuiku menjadi caleg?”
“Waktu
itu aku terpaksa menurutimu hingga kurela menjual semua yang kita miliki. Tapi
apa hasilnya? Kau kalah dan hampir saja kau putus asa dengan mencoba bunuh
diri.”
“Ya.
Itu dulu karena aku ditipu oleh tim suksesku. Mereka yang kupercaya dan
kuserahi dana untuk dibagikan kepada calon pemilih, malah diembat sendiri.
Tetapi, Kang percayalah! Saya sekarang sudah menemukan trik untuk memenangkan
pencaleganku. Saya sudah memasang calon tim sukses di tiap-tiap desa.”
“Punya
tim sukses sekecamatan sekalipun, aku tetap tidak mengizinkanmu maju lagi.
Titik!”
Parlan
tetap bersikukuh mempertahankan sikapnya yang tidak merestui istrinya menjadi
caleg. Dia sudah kapok meuruti kemauan istrinya seperti pemilu lalu sehingga
tidak mau terjerumus pada kesalahan yang serupa.
***
Semenjak Parlan tidak mengizikan Narti maju dalam pemilu,
Narti sering duduk menyendiri di bawah teras rumahnya. Wanita setengah baya
yang biasanya berpenampilan seperti gadis remaja ini sudah mulai dimakan
kekecewaan. Kulit wajahnya sudah tidak terawat lagi. Guratan-guratan usia di
wajahnya terlihat jelas bahwa dia bukan lagi seorang gadis remaja. Dia kini
tampak seperti aslinya, wanita setengah baya yang sudah mempunyai dua anak
remaja yang kini masih duduk di bangku perkuliahan.
Pada
selembar kertas dia menulis sajak. Sajak tentang harapan yang terhalang sang
suami. Dia menulis, “Matahari tidak akan berhenti menyinari alam. Dia tidak
akan putus asa oleh gumpalan mendung yang menutupi wajahnya. Demikian halnya
diriku, yang akan tetap memancarkan sinar di panggung kampanye nanti. Hai,
rakyatku! Akulah ratu keadilan yang akan membawa kalian mentas dari
kesengsaraan. Akulah ratu kebenaran yang akan selalu menyinari kegelapan dalam kehidupan.
Akulah angin yang selalu siap memberikan hembusan nafas segar demi terwujudnya
cita-cita kalian menjadi warga yang hidup dalam keadilan, adil dalam
kesejahteraan. Coblos aku, Narti!”
“Min,
tolong kemari!” Narti memanggil pesuruhnya.
“Ada apa Bu Narti?” tanya Satimin.
“Ini
fotokopikan menjadi dua ratus lembar. Pasang di pohon-pohon pinggir jalan dan
tiang-tiang listrik atau di tempat keramaian,” perintah Narti sambil
menyodorkan kertas yang bertuliskan sajak kampanye.
“Inggih
Bu Narti!” Satimin menimpali perintah Narti sambil manggut-manggut.
Sajak
Narti yang ditulis sekenanya sudah beredar ke mana-mana. Di setiap desa
terpasang selebaran yang berisi ambis Narti menjadi caleg pada pemilu tahun
ini. Di sana sini terlihat warga bererumun. Mereka membicarakan ulah Narti yang
dinilai ganjil.
Parlan,
suami Narti, terkejut saat melihat ada selebaran istrinya yang tertempel di
tiang listri di tikungan jalan dekat pasar. Dia lantas bertanya kepada warga
yang kebetulan rumahnya dekat dengan tempelan selebaran siapa yang telah
menempelkannya.
Parlan
lantas mencari Satimin. Ia melihat lelaki kepercayaannya ini sudah berada di
rumah bersama Narti. Parlan tertegun melihat sikap istrinya yang berlaga
seperti orang yang sedang berkampanye.
Wanita
setengah umur itu berdiri tegak sambil mengepalkan tangan kanannya ke atas.
Tangan kirinya memegang selembar kertas yang berisi sajak kampanye.
“Dik
Narti, apa yang Kau lakukan?” tanya Parlan sambil menangis.
“Hai,
rakyatku! Akulah ratu keadilan yang akan membawa kalian mentas dari
kesengsaraan. Akulah ratu kebenaran yang akan selalu menyinari kegelapan dalam
kehidupan. Akulah angin yang selalu memberikan hembusan nafas segar demi
terwujudnya cita-cita kalian menjadi warga yang hidup dalam keadilan, adil
dalam kesejahteraan. Coblos aku, Narti” seru Narti.
Narti
tetap bersemangat membacakan sajaknya. Dia tidak menggubris pertanyaan suaminya
yang menangis di sampingnya. Parlan pun merangkul tubuh Narti lalu menuntunnya
masuk ke rumah.
Saat
di papah suaminya, Narti tetap bersemangat membacakan sajak itu. Dia hilang
kesadaran karena keinginannya maju dalam pemilu legislatif tahun ini terhalang
oleh sikap suaminya yang sudah trauma pada pemilu sebelumnya.
Wanar, 29 Oktober 2013
*) Guru SMA Raudlatul Muta’allimin Babat yang sedang menempuh S-2 di Unisda. Cerpenis tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar