Budi Hatees
Hidup
dan kehidupan sastra di negeri kita terlalu mengandalkan media cetak (pers): koran,
tabloid, dan majalah. Padahal dinamika peradaban yang sangat mengandalkan
digitalisasi ini mulai meninggalkan segala yang berbau cetakan, ditandai dengan
semakin banyaknya industry penerbitan media cetak yang mengubah formatnya dari
cetakan ke digital atau online.
Akhir
2014 lalu, Harian Jurnal Nasional—salah satu koran yang menjadi medium karya
sastra di negeri ini—mengumumkan perubahan format dari cetakan ke online.
Seandainya media ini masih menyediakan ruang untuk publikasi karya sastra, bisa
disimpulkan para sastrawan akan berpikir dua kali untuk mengirimkan karyanya.
Jauh
sebelum Jurnal Nasional, sejumlah media cetak yang menjadi medium sastra di
negeri ini sudah tutup. Pada decade 1980-an sampai 1990-an, banyak sastrawan di
negeri ini lahir dari surat kabar minggu seperti Swadesi, Simphoni, dan Berita
Yudha. Sejumlah harian juga memberi kontribusi besar terhadap perkembangan
karya sastra seperti Pelita, Suara Karya, Jaya Karta, majalah Amanah, Ulumul
Quran, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Tabloid Mutiara, Sinar Pagi, bahkan
tabloid Go—yang khusus bicara olah raga—menyediakan ruang untuk cerpen.
Sebagian
dari media itu sudah almarhum. Cepat atau lambat, hal serupa akan mendera
industry penerbitan lainnya. Kita bisa belajar dari industry pers dunia, yang
lebih padat modal dibanding media-media cetak di negeri ini, tapi sudah tak
terbit lagi.
Castell,
D. V. dalam bukunya, Toward a New Model of Journalistic Information from Absent
Subject to Testimony (2003), mengatakan industry pers dunia “hancur” mulai
tahun 2001 karena tidak mampu lagi beroperasi.
Sebut
saja The New York Times—koran harian berbasis di New York—di bulan September
2001 terpaksa mengurangi sekitar 8--9 persen dari 14.000 awak media karena
krisis iklan dan sirkulasi. Pada tahun yang sama, Miami Herald merumahkan
sekitar 20 persen karyawan, USA Today membuat kebijakan baru berupa pensiun
dini.
Media
cetak legendaris lain turut berguguran. Far Eastern Economic Review, majalah
mingguan ekonomi terkemuka di Asia Tenggara yang berkedudukan di Hong Kong dan
terbit sejak tahun 1958, di tahun 2004 tutup setelah enam tahun mengalami
defisit keuangan berat. Pada Februari 2009, koran tertua di negara bagian
Colorado Amerika Serikat, The Rocky Mountain News, resmi menyatakan tutup
setelah terbit mulai tahun 1859. Christian Science Monitor, sebuah terbitan
yang menjadi pemenang tujuh Pulitzer dan berusia dari 100 tahun, harus mengubah
format cetak menjadi online di bulan Maret 2009.
Di
Indonesia, sebagian media cetak terpaksa “dijual” pemiliknya kepada investor
lain, dan lahir kembali dengan manajemen baru, yang kemudian berkembang tapi
tidak seperti perkembangan di masa lalu. Koran-koran lama itu tidak lagi
menyediakan ruang untuk sastra, karena harus mengikuti kehendak pemilik modal
yang mengembangkan konsep media cetak sebagai medium bisnis.
Kini
jumlah penulis karya sastra semakin melimpah di negeri ini, tapi jumlah media
cetak yang membuka ruang publikasi sastra semakin berkurang. Persaingan antara
para penulis sastra menjadi ketat sekaligus kecut.
Ketat
karena setiap media cetak harus menseleksi satu dari sekian banyak karya sastra
yang diterima. Kecut karena cara menyeleksi karya yang layak diterbitkan sangat
kuat dipengaruhi subjektivitas pemilik media.
Media
cetak kini ada dan disemangati orientasi bisnis. Para pekerjanya, termasuk
redaktur sastra, tidak lebih dari seorang pekerja media yang bekerja berdasarkan
budaya bisnis yang ada di lingkungannya.
Kita
tak akan setuju bila sastra dikaitkan dengan bisnis. Tapi, sukar menolak sastra
yang mengandalkan media cetak untuk tidak dikait-kaitkan dengan dunia bisnis.
Sebab, setiap karya sastra yang terbit di media cetak, selalu dikait-kaitkan
oleh pengelolanya dengan berapa banyak pembaca karya sastra tersebut. Pembaca
karya sastra itu berkontribusi terhadap pemasukan iklan, karena total pembaca
media cetak bersangkutan tidak cuma bertambah, tetapi memiliki fanatisme.
Itu
sebabnya, setiap penerbitan media cetak punya standar- khusus dalam menerbitkan
karya sastra. Standar itu akan menjadi panduan, disiapkan sebagai barometer.
Makanya, ada media cetak yang kemudian mengklaim diri sebagai tempat publikasi
karya-karya sastra terbaik di negeri ini. Klaim-klaim asersif itu diapungkan melalui juru
bicara dari kalangan sastrawan agar mendapat kepercayaan sebagian publik
sastra. Misalnya, penyair Sapardi Djoko Damono pernah membuat klaim bahwa
cerpen terbaik di negeri ini hanya ditemukan di koran.
Setiap
klaim mendapat pendukung, meskipun kita punya banyak alasan untuk menolaknya.
Tapi, persoalan sesungguhnya bukan pada hal menolak atau menerima klaim itu,
melainkan karena sastra kita terlalu mengandalankah hidup dan kehidupannya
terhadap media cetak. Media cetak adalah hasil; produksi institusi bisnis yang
memiliki strategi dan sejarah yang panjang untuk menata agenda media agar
menjadi satu-satunya bacaan publik. Sastra kita ada di dalamnya, menjadi bagian
dari agenda media hingga sering kehilangan hakikat kontemplasinya.
Sastra
kita tidak bisa berbuat apa-apa.
***
*) Budi Hatees, nama pena dari H. Budi P.
Hutasuhut, S. Sos, M.M. Lahir 3 Juni 1972 di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra
Utara. Pernah bekerja sebagai jurnalis di lingkungan Media Indonesia Grup, dan
menjadi dosen komunikasi di Universitas Bandar Lampung (UBL) dan Universitas
Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar