Minggu, 09 Agustus 2020

Mereguk Cinta di Negeri Butuni

Syaifuddin Gani

Menginjakkan kaki di Negeri Butuni selalu meninggalkan jejak yang bermakna. Negeri Butuni yang kumaksud di sini adalah Bau-bau. Secara administratif antara Buton dan Bau-bau memang berbeda, tetapi secara kultur memiliki kesamaan. Meskipun setelah pemekaran memisahkan keduanya, lahir pula “kebudayaan” yang berbeda. Bukankah setiap insan dan ruang memiliki lorong atau visi perbedaan yang merupakan keniscayaan? Kembali ke soal pengalaman saya.

Pertama kali menapaki Pelabuhan Murhum ketika KM. Kerinci mendarat di pinggul pantai, September 2005. Itu terjadi ketika saya pulang dari petualangan budaya dan rohani dari Surabaya, Solo, Yogyakarta, Banten, dan Jakarta. Kota-kota budaya itu saya jelajahi ketika pentas teater bersama Teater Sendiri. Momen itu pulalah yang mempertemukan saya dengan kalangan pencipta kebudayaan di Indonesia misalnya Rendra, Taufik Ismail, Slamet Sukirnanto, Ratna Sarumpet, Agus R. Sarjono, Anto Baret, Rieke Diah Fitaloka, Yudi Ahmad Tajuddin, Gus Dur, maupun Budiman Sujatmiko. Pertemuan itu bisa berupa perbincangan mendalam, tatapan mata, jabat tangan, dan percumbuan hati. Persentuhan fisik, perbincangan, dan pertemuan mata disadari atau tidak memberikan pengaruh bagi proses kematangan seseorang.

Ah, mengapa tiba-tiba melenceng dari pembicaraan awal? Baiklah akan kuteruskan. Sampai di mana yah. Oh ia, ketika badan Kerinci merapat di pinggul pantai. Sepanjang perjalanan menuju Pelabuhan Murhum, saya menghikmati pemandangan lautan yang maha indah. Secara perlahan, matahari merekah dari rahim laut. Saya tak menyia-nyiakan sedetik pun. Ada warna oranye, kuning telur, bias emas, dan putih yang memancur ke atas udara.

Subhanallah. Dalam keadaan seperti ini, rasanya aura matahari tidaklah panas dan ganas. Angin kesejukan melanglang dari matahari yang seperti bayi mungil itu. Detik demi detik berlalu. Matahari yang sekonyong-konyong lahir, ibarat telur yang keluar dari rahim ayam. Dan beberapa menit setelahnya, auranya semakin hangat, panas, dan menggerahkan. Di sini saya mereguk Cinta Sang Ilahi. Wah, di sana Negeri Butuni seperti negeri ajaib yang lahir di tebing bukit.

Teeeet….. teeeet…. teeeet. Saya pun meninggalkan geladak dan menuruni tangga. Di bawah, para buruh pelabuhan menawarkan jasa. Suasana laut yang keras dan asin menyongsong. Memasuki ranah Butuni sangat terasa aroma kesultanan. Ada patung Sultan Muhammad Yisa Kaimoeddin yang berdiri tegak. Patung ini adalah penanda utama bahwa Butuni adalah sebuah wilayah kerajaan/kesulatanan. Tidak seperti patung Lulo di Kendari Beach yang tak berkarakter, patung Sultan Murhum ini memiliki nilai artistika, estetika, dan arsitektural yang khas. Sebuah kota yang akan dikenang sejarah adalah apabila dibangun di atas pilar kebudayaan yang melahirkannya. Di sini saya mereguk cinta yang ditawarkan Negeri Butuni.

Lalu di penghujung 2006, saya kembali mengelana di negeri yang disebut pusat bumi. Saya datang bersama penyair Irianto Ibrahim dan fotogrefer Arif Relano Oba, keduanya berdarah daging Butuni. Sulawesi Tenggara harus berbangga memiliki dua anaknya yang menjadi seniman. Keduanya telah memperkenalkan khazanah lokal melalui puisi dan karya foto ke penikmat seni. Kami bertiga menjadi pemateri Pelatihan Musikalisasi Puisi bagi Siswa SLTA se-Kota Bau-bau.

Mengangungkan, walikota Bau-bau M.Z. Amirul Tamim, yang membuka pelatihan itu memiliki kepekaan dan naluri puitika yang bagus. Usai memberi sambutan dan membuka secara resmi, ia pun melontarkan puisi yang dicipta seketika. Ia lahir sebagai improvisasi. Isi yang dikandungnya mengenai kecintaan pada Butuni, rakyat, dan warisan kesultanan.

Belum kau kunjungi Butuni sebelum bertandang ke Benteng Keraton Buton. Inilah keyakinan yang harus dicamkan pengunjung budaya. Butuni identik dengan Benteng Keraton Buton. Bahkan penyair sufi asal Madura D. Zawawi Imran yang ke Kendari saat MTQ Nasional silam, berkunjung ke Keraton dan mencipta puisi di sana. Engkau masuk dari arah mana? Utara, timur, selatan, atau barat? Dari gerbang lawana anto, lawana kalau, atau lawana labunta?

Eit, jangan bangga dulu. Apakah Anda sudah berpose di liang persembunyian Arung Palakka sang Raja Bone?. Namun, belum sempurna kau berkunjung ke Keraton Buton bila tidak mampir ke Makam Sultan Murhum (Sultan Muhammad Yisa Kamimoeddin). Dijemput doa-doa murni oleh ina-ina, engkau pun dipersilahkan menaiki tangga purba dan tua, lalu menghikmati makam bersejarah itu. Setelah itu Anda boleh tafakkur di Masjid Agung Keraton. Di sini, Cinta (dengan C kapital) benar-benar menyongsongmu.

Di depan masjid terdapat “papan pengumuman” berwarna hijau dan tertulis Batu Popaua. Konon di Batu Popaua, di situlah pertama kalinya Wakaakaa menginjakkan kakinya di bumi Butuni. Sehingga dalam sejarah kerajaan/kesultanan Buton, Batu Popaua menjadi tempat pelantikan raja dan sultan. Masih di dalam Benteng Keraton, Anda dapat melihat-lihat keunikan rumah adat Malige, atau jangkar besar, serta daftar urutan raja/sultan yang pernah memimpin. Dan Anda boleh hormat dan takzim di depan tiang bendera yang menjulang ke cakrawala. Konon ia lebih tua dariapda masjid keraton. Dialah penyaksi sejarah Kerajaan dan Kesultanan Buton. Ia menyimpan darah, airmata, cinta, pusaka, dan cerita yang abadi.

Dengan demikian, Benteng Keraton Buton merupakan warisan sejaran dan budaya yang tak ternilai harganya. Mungkin karena keeksotikannya sehingga cerpenis muda Indonesia berdarah Buton, Waode Wulan Ratna, melahirkan cerpen bernuansa Buton. Cerpennya yang terakhir mengeritik sistem strata sosial di Buton yaitu kaomu, walaka, batua, dan papara. Sehingga dalam cerpennya yang berjudul “Bula Malino” tokoh Harima berstrata kaomu ingin menikahi La Sinuru yang berstrata batua. Inilah adalah pesan dan upaya “menyamakan” derajat kemanusiaan setiap insan. Hal ini juga dilakukan oleh Putu Wijaya dan Oka Rusmini dalam karya sastranya atas strata social di Bali.

Namun, sebelum pulang meninggalkan Butuni tahun 2006 itu, saya harus melepas kepenatan di Pantai Kamali di malam hari. Pantai Kamali, sebuah ranah yang menjadi ikon lain Kota Bau-bau. Lampu mercury berjajar sepanjang pantai seumpama matahari mungil yang binar. Di pinggir pantai, ibu-ibu dan anak gadisnya yang disapa waode, memanjakan pengunjung dengan makanan dan minuman yang beragam. Singgah pak. Mau minum saraba, kacang goreng, atau fanta? Jangan malu-malu, dan.

Sambil membuka kulit kacang, saya dilanda kenangan atau ironi. Memang banyak orang serupa kacang, yang lupa akan kulitnya. Wow, kureguk saraba sambil memandang gedebur gelombang. Beberapa kapal kayu yang dierami lampu warna-warni, siap menghantar penumpang ke kampung halaman. Ada yang bertolak ke Wanci, Tomia, atau Bungku Sulawesi Tengah. Dan inilah pemandangan yang menjadi kenangan tak terlupakan. Aku masih sempat menaiki KM. Acita yang karam itu. Oh nasib. Oh takdir. Oh maut. Oh Cinta.

Waina, sepulang dari pantai terdengar suara gambus dan syair dari sebuah gudang. Kami masuk dan melihat tontonan langkah. Seorang ode tua mengiris malam dengan pertunjukan kabhanti, kesenian tradisi yang hanya dimiliki negeri ini. Negeri Butuni sangat terasa karakter dan kekhasannya. Sebuah wilayah yang memiliki akar tradisi kuat ditopang oleh kehidupan agamis yang rekat. Kabhanti, sebuah puisi tak terperi.

Pembaca budiman, apa yang saya tulis ini adalah pandangan atas Neegri Butuni dari satu sisi, dan sebagaimana sebuah daerah, ia memiliki beratus sisi yang siap dimasuki. Paling tidak ada sisi gelap dan sisi terangnya.

Pagi hari, pukul 07.30. Saya meninggalkan Butuni. Seombak demi seombak, kapal cepat menderu dan menyeru: selamat tinggal Negeri Butuni, negeri para wali, dan negeri pujangga.

***

Kendari--Bau-Bau, 2006

http://kendarisyaifuddingani.blogspot.com/2010/03/mereguk-cinta-di-negeri-butuni.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar