Senin, 31 Agustus 2020

Peradaban Lawas dalam Kabuki

Doddi Ahmad Fauji *

Pertunjukan kabuki disertai arti penjelasan gerakan tariannya di Gedung Kesenian Jakarta, menerangkan sisi beradabnya teater lawas ini.

Nonton kabuki? Wah, itu pertunjukan yang membosankan, menjengkelkan, terlalu lamban. Kesan ini sering dilontarkan oleh mereka yang bukan penggemar tari tradisi. Seni pertunjukan kabuki dari Jepang itu, dalam beberapa adegan tarian, memang terlihat lamban. Saya kira sama lambannya dengan beberapa adegan dalam tari bedhaya dari Jawa.

Pertunjukan teater kabuki dan tari bedhaya sama lawasnya, diciptakan oleh para seniman terdahulu. Tetapi kabuki telah menjadi kesenian kalsik yang ditempatkan menjadi warisan adiluhung bagi warga dunia. Padanya, terdapat sejumlah intangible value yang telah dirumuskan dan diabadikan dalam karya seni. Karena itu, menonton kabuki dianggap sebagai bagian dari belajar kebudayaan yang beradab.

Menyimak teater kabuki bukan sekedar menonton kemeriahan kostum penarinya, atau menikmati tata rias wajah dan seting panggung yang glamour. Menonton kabuki sebenarnya sedang menyimak orang-orang Jepang terdahulu dalam bersikap, sebab pada setiap tata artistik termasuk tata gerak tarian, selalu menyimpan simbol sopan santun masyarakat Jepang.

Pendapat ini saya kemukakan setelah menyaksikan pertunjukan kabuki oleh Kyozo Nakamura dan Matanosuke, keduanya asli asal Jepang dan amat mumpuni sebagai aktor kabuki. Tentulah sedap menonton kabuki dari penuturnya langsung. Pertunjukan itu dihelat di Gedung Kesenian Jakarta pada 10 Februari lalu.

Pertunjukan yang digelar adalah fragmen-fragmen tarian yang menjadi bagian dari pertunjukan teater kabuki. Ada dua tarian yang digelar, yaitu nomor Sagi Musemu dengan durasi sekira 30 menit, dan tarian Sakeye (Jembatan Batu).

Kostum yang mewah dan cara aktor mengganti pakaian di atas panggung secara demonstratif, tampak mengagumkan. Para penonton selalu memberikan aplaus begitu sang aktor berhasil mengganti kostum tanpa terlihat kapan melepas yang lama dan kapan mengenakan yang baru. Ia cukup bersembunyi pada sebuah paying, atau merunduk, dan begitu nampak lagi, kostumnya sudah berganti.

Kabuki disebut kesenian tradisional dengan mutu nilai adiluhung, karena seperti dituturkan di atas, pada setiap elemennya menyimpan simbol-simbol yang berkait dengan nilai-nilai praktis. Juga, gerakan tarian dalam kabuki, mengandung simbol-simbol terkait santunitas dalam bersikap. Penonton yang mengerti simbol-simbol tiap gerakan, akan mengerti jalan cerita yang sedang diusung para penari. Mereka yang tidak mengerti makna tarian kabuki, di Jepang sana pada masa Edo, yaitu masa ketika tarian ini lahir, akan dianggap kurang pendidikan atau kampungan.

Usai menari nomor Sagi Musume, Kyozo Nakamura mendemonstrasikan dan menerangkan arti dari gerakan-gerakan tariannya. Misalnya cara lengan menunjuk pada diri sendiri bagi perempuan. Adalah berbeda cara menunjuk seorang gadis, seorang ibu cukup umur, dengan seorang nenek. Dari perbedaan cara menunjuk itu saja, seorang penonton dapat mengerti tokoh yang sedang dimainkan itu perempuan berusia berapa, dan tentu seperti apa tindakan yang dianggap santun untuk seusiannya.

Pakaian dan rias wajah untuk tiap tokoh juga dibedakan. Dengan demikian, pertunjukan kabuki yang lebih banyak dipresentasikan dalam bentuk tari, bisa dikatakan semacam akumulasi dari gerak pantomim. Di kita, jarang sekali ada penjelasan dari tiap gerakan tarian tardisi apalagi tarian kontemporer, sehingga di negeri kita tarian menjadi kesenian yang sulit dipahami oleh penonton. Tarian hanya sedap untuk ditonton gerakan-gerakannya, tetapi sulit mencerap makna darinya.

Mungkin saja pencipta tarian tradisi di negeri kita hendak menyampaikan makna dan arti pada tiap gerakan yang diciptanya, hanya saja makna dan arti itu tidak pernah dicatat, sehingga lenyap dalam perjalanan waktu. Mungkin saja dalam setiap gerak tari bedhaya itu ada makna tertentu, hanya saja jarang diterangkan baik di sekolah-sekolah atapun di panggung-panggung oleh pemain atau koreografernya. Kelemahan leluhur kita memang jarang mencatat, termasuk mencatatat metode, sehingga kita tidak tahu bagaimana cara membuat candi borobudur.

Beda dengan tradisi di Jepang yang termasuk cukup bagus catatannya. Kabuki bisa dilacak hingga ke pencipta perdananya. Menurut catatan yang mereka miliki, kali pertama kabuki dimainkan pada 1603 oleh Okuni yang bekerja sebagai miko (gadis pelayan) di kuil Shinto Izumi Taisha.

Pada tahap berikutnya, sejak tahun 1962, pemerintah militer melarang wanita mementaskan kabuki seiring dengan perkembangan yang dianggap merusak moral penonton.

Kabuki, bersama seni wayang dari Indonesia dan 42 kesenian lainnya dari pelbagai penjuru dunia, ditetapkan menjadi maestro warisan seni budaya dunia oleh UNESCO sejak 2005. Nah, pantaslah jika demikian adanya.

***

*) Doddi Ahmad Fauji, penulis buku Menghidupkan Ruh Puisi, Sastrawan Angkatan 2000 versi Korrie Layun Rampan, dan mantan redaktur sastra Koran Media Indonesia (1999 – 2001).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar