Senin, 19 Juli 2021

Kritik Cerdas Gaya Gandrik

Grathia Pitaloka
jurnalnasional.com
 
Setelah menapaki perjalanan kreatif seperempat abad, kini siap bergerak dengan generasi baru.
 
Atas nama moral, Susila Parna, seorang penjual mainan anak-anak diringkus oleh aparat. Lelaki bertubuh gendut ini dituding telah melakukan tindakan asusila dengan mempertontonkan aurat di muka umum. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah, Susila kegerahan karena terlalu bersemangat menari tayub. Tak terbersit sama sekali niat di kepalanya untuk memamerkan tubuhnya yang tambun, lengkap dengan perut buncit serta susu yang kimplah-kimplah.
 
Tetapi aparat tetap menganggap tindakan Susila sebagai sebuah kejahatan yang membahayakan. Apalagi di negeri tersebut baru saja disahkan Undang-undang Pornografi. Tentu saja, atas nama peraturan segala pembelaan Susila hanya dianggap sebagai angin lalu. Bahkan sejumlah barang dagangannya disita untuk dijadikan barang bukti.
 
Lakon di atas merupakan penggalan cerita Sidang Susila yang dipentaskan oleh Teater Gandrik beberapa waktu lalu. Dikemas dengan gaya komedi yang kental, Butet Kertaredjasa dan kawan-kawan mencoba mengkritisi keberadaan Undang-undang Pornografi di tengah keberagaman masyarakat Indonesia.
 
Ketika Bengkel Teater yang dikomandani WS Rendra membabat kepincangan sosial dengan gagah perkasa, Teater Gandrik memilih melangkah dengan rendah hati. Sindiran menggigit yang mereka lontarkan bersih dari segala caci maki, tetapi dengan tepat berhasil mengenai sasaran.
 
Meski kerap menampilkan sindiran halus berupa guyonan parikena tetapi Teater Gandrik tidak memburu komedi sebagai tujuan utama. Komedi mereka tempatkan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan moral. “Tujuan kami adalah menyampaikan kritik, kalau ada penonton yang tertawa itu hak mereka,” kata salah satu pendiri Teater Gandrik, Heru Kesawa Murti kepada Jurnal Nasional, Selasa (18/11).
 
Pria yang pernah memperoleh Penghargaan Seni dari Pemda DIY ini mengatakan, latar belakang budaya Jawa yang kental memengaruhi gaya Teater Gandrik dalam menyampaikan kritik. Bagaimana mereka menyampaikan kritik bukan dengan acungan tinju, melainkan dengan gocekan atau olok-olok yang menghibur.
 
Pandangan serupa juga disampaikan oleh dramawan Putu Wijaya. Ia mengaku terpingkal-pingkal ketika pertama kali menyaksikan penampilan Teater Gandrik saat memainkan lakon Orde Tabung. Bahkan menurut Putu, aksi kelompok asal Yogyakarta ini lebih mengocok perut ketimbang pertunjukan Teater Koma yang sama-sama menggunakan tawa sebagai amunisi.
 
Pendiri Teater Mandiri ini memaparkan, Teater Gandrik mampu menghadirkan lelucon yang lugu tetapi cerdas. “Seandainya saja mereka memacu keluguan tersebut dengan tandas, saya yakin pementasan akan padat dan berbobot,” kata Putu.
 
Kesenian Rakyat
 
Teater Gandrik berdiri pada 12 September 1983, di sebuah kecamatan yang terletak sepelemparan batu dari keraton. Pada mulanya, Teater Gandrik didirikan oleh Heru Kesawa Murti, Susilo Nugroho, Alm Saptaria Handayaningsih serta Jujuk Prabowo untuk mengikuti festival kesenian rakyat yang diadakan oleh Departemen Penerangan.
 
Usai festival tersebut, para punggawa Teater Gandrik kemudian bermusyawarah untuk menentukan langkah selanjutnya. Merasa memiliki visi dan misi yang sama, mereka pun sepakat untuk membentuk kelompok teater yang berpijak pada kesenian rakyat. Dua tahun kemudian armada Teater Gandrik pun semakin kokoh karena diperkuat oleh Butet Kertaredjasa, Djaduk Ferianto serta Whani Darmawan.
 
Kesenian rakyat yang diusung Teater Gandrik sebagai basis untuk berkarya dipegang teguh hingga 25 tahun. Bahkan kini mereka tak hanya menjelajahi kesenian rakyat Jawa, tetapi juga merambah pada kesenian rakyat daerah lain seperti Padang dan Bali.
 
Pengaruh teater rakyat sangat terasa pada sikap nyleneh yang mereka tampilkan dalam dialog serta pembelokan yang tiba-tiba dari adegan-adegan serius kepada kenyataan panggung.
 
Lihat saja pertunjukan Ode Kampung. Ketika salah satu dari ketiga pelarian dari rumah jompo berteriak memanggil kawannya, mula-mula yang dipanggil menyahut dengan suara sedemikian rupa sehingga terasa mereka terpisah jauh, padahal hanya beberapa meter dalam kenyataan panggung. Tapi ketika diteriaki sekali lagi, ia langsung menjawab dengan suara rendah: “Di sini…” dan imajinasi yang sudah dibangun penonton pun langsung ambyar.
 
Selain itu, pergerakan akting yang cepat di panggung juga menjadi salah satu ciri teater rakyat yang diadopsi oleh Teater Gandrik. “Tidak ada batas antara mereka memerankan tokoh, opini sosial atau situasi, semuanya mereka lepaskan dari kerangka sehingga lebih mudah dicerna penonton,” kata Afrizal Malna.
 
Sebagaimana galibnya dalam pementasan yang sudah-sudah, Teater Gandrik percaya pada kekuatan gaya sampakan yang meniadakan batas antara “aktor sebagai pemain” dengan “watak yang dimainkannya”.
 
Model permainan seperti ini juga sangat membuka peluang bagi para pemain melakukan improvisasi dan bahkan kadang-kadang melibatkan penonton. Pola sampakan ini diadaptasi oleh Gandrik dari banyak kecenderungan di teater tradisional Tanah Air. Misalnya saja, lenong Betawi atau ludruk Jawa Timuran.
 
Heru mengatakan, Teater Gandrik tidak pernah mematok gaya tertentu dalam berkarya. Menurut dia, berhenti bereksplorasi dan terpatok pada satu gaya merupakan ciri kematian sebuah kelompok teater. “Itu persepsi penonton, kami sendiri tidak pernah memproklamirkan kalau mengusung gaya tertentu,” ujar Heru.
 
Teater Gandrik memang sudah tidak mengalami masalah di tingkat keaktoran maupun penyutradaraan. Para personelnya merupakan para pemain watak yang masing-masing memiliki kemampuan di atas rata-rata.
 
Untuk penyutradaraan, Teater Gandrik menganut prinsip terbuka, tidak ada yang dominan ataupun otoriter. Masing-masing berhak menuangkan idenya ke dalam sebuah garapan. “Biasanya sebuah pertunjukan dikoordinatori oleh satu orang, dia yang mengatur lalu lintas ide supaya tidak semrawut,” ujar Heru.
 
Bakdi Soemanto mengatakan bahwa nuansa kesenian rakyat pada Teater Gandrik terasa semakin kental dengan iringan musik yang selalu merespons setiap aksen yang menarik perhatian. “Misalnya kalau orang marah dikasih gamelan, kalau di teater modern biasanya musik hanya berupa ilustrasi,” ujar Bakdi.
 
Meski berbasis pada kesenian rakyat, Teater Gandrik tak menelannya bulat-bulat. Mereka sadar mereka tak dapat menahan putaran waktu, maka jalan tengah yang diambil adalah mengawinkannya dengan konsep modern. Bahkan mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang paling berhasil mengawinkan konsep teater modern dengan teater rakyat.
 
Naskah merupakan salah satu konsep modern yang mereka terapkan. Meski tak baku karena akan banyak improvisasi di sana-sini, Teater Gandrik tetap berlakon berdasarkan naskah.
 
Bakdi melihat, prinsip teater modern bisa dilihat pada blocking yang teratur, timing yang tepat, dan light system. “Mereka mengeksplorasi teater rakyat dan kemudian mengawinkannya dengan teater modern, sehingga mereka bisa disebut teater postmodern,” ujar Bakdi.
 
Pendapat Bakdi diamini oleh Heru. Ia mengatakan bahwa dari segi artistik dan musik Teater Gandrik telah mengalami perubahan dari konsep awal. Sentuhan kesenian rakyat yang pekat, kini diwakili oleh simbol-simbol saja.
 
Demikian pula pada musik pendukung, sebagai perbandingan coba tengok dua pementasan Teater Gandrik berikut. Pada pementasan Mas Tom musik yang digarap Purwanto hanya memanfaatkan dominasi gendang, alu untuk memukul lesung, serta koor pemain untuk mengiringi pementasan.
 
Sementara pada pementasan Departemen Borok, ide cerita futuristik membuat Djaduk Ferianto sebagai penata musik menggunakan instrumen musik Barat seperti satu set drum, keyboard, bass, dan gitar elektrik, konga, flute, serta ukulele.
 
Regenerasi
 
Bertahan selama 25 tahun di dunia teater tentu bukan hal yang mudah bagi Teater Gandrik. Apalagi usia para punggawanya kini tak lagi muda. “Kami sudah tua, sudah saatnya melakukan regenerasi,” kata Heru.
 
Usia yang beranjak senja pasti menciptakan sebuah keterbatasan fisik bagi pesonel Teater Gandrik. Tubuh yang dulu lentur perlahan menjadi sedikit kaku, namun tentu saja hal itu tidak dijadikan hambatan oleh mereka untuk berkarya.
 
Dua tahun lalu Teater Gandrik merekrut sejumlah anak muda, namun yang bertahan hingga kini jumlahnya hanya sepuluh orang. Belum lama ini Gandrik Muda mementaskan pertunjukan Pasar Seret 3. Meski masih diperkuat oleh para personel lama, tapi para Gandrik Muda ini mulai menunjukan eksistensinya.
 
Bagi Butet Kertaredjasa, diwujudkan atau dipercayakan pada Gandrik Muda merupakan napas baru yang memberikan semburat semangat bagi kelangsungan komunitas Gandrik. “Bergabungnya generasi baru menambah kekayaan kreativitas di Teater Gandrik,” kata Butet.
 
Datangnya generasi baru ini juga diharapkan dapat berfungsi sebagai obat penyubur di tengah keringnya produktivitas Teater Gandrik. Sepanjang tahun 2000 hingga 2008 kelompok ini hanya menghasilkan dua judul pertunjukan. “Padahal idealnya kami ingin menghasilkan satu judul setiap tahun,” ujar Heru.
 
Para punggawa Teater Gandrik yang memiliki kesibukan sendiri-sendiri disinyalir menjadi penyebab mandulnya proses kreatif mereka sepanjang tahun 2000-an. Hal tersebut diakui oleh Butet. “Persoalan manajemen waktu, mengingat sekarang ini ritme hidup para pendukung Gandrik sudah sangat berbeda dengan tahun 80-an,” kata Butet.
 
Dengan konsep manajemen modern dan profesional, Teater Gandrik siap meretas masa depan berkesenian. Menurut Afrizal, hal itu akan semakin matang apabila Teater Gandrik bisa menyerap perubahan-perubahan yang terjadi disekitarnya. “Bisa dengan mengadaptasi musik hiphop atau video art,” ujar Afrizal.
 
***
http://sastra-indonesia.com/2008/11/kritik-cerdas-gaya-gandrik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar