An. Ismanto
Sinar Harapan, 15 Sep 2007
Sehembus angin menghambur-hamburkan debu, dedaunan layu dan ceceran kertas
di halaman rumahnya ketika suatu sore ia menemani suaminya bercengkerama di
beranda. Terdengar bunyi gemeresak yang ribut. Mendengar bunyi itu, ingatannya
terseret kembali ke detik-detik menegangkan bertahun-tahun lalu, ketika ia
berdiri di pintu dengan cemas sementara azan maghrib menjengkali setiap penjuru
udara. Namun, seperti biasa, suaminya selalu saja membuyarkan saat-saat
menggetarkan itu.
”Sudahlah. Jangan lagi kau kenang-kenang anak bengal itu. Nanti kau sakit,”
kata suaminya dengan ketus.
”Tapi dia anak kita, Yah,” jawabnya lirih.
Suaminya mendengus. “Apa faedahnya menunggu anak durhaka seperti itu? Berapa
tahun sudah dia tak pulang, tak berkirim sekadar kabar? Toh kalau dia kembali,
kau dan aku juga sudah menjadi terlalu tua dan semakin dekat dengan kuburan.
Dia tak akan membuat kita kembali menjadi muda. Huh, anak durhaka seperti itu.
Kenapa tak kau kutuk saja dia jadi batu seperti Si Malin?”
Ia menunduk dan diam. Selalu begitu. Setiap kali ia dan suaminya bersilang
pendapat, ia selalu mengalah. Ia tak pernah berani membayangkan sebuah
pertengkaran antara ia dan suaminya, meski ia marah sekali dengan keketusan
suaminya barusan dan rasanya ia ingin membentak laki-laki itu: “Biar begitu,
dia tetap anakku! Anakku!”
Rasanya ingin ia menyangkal: kau laki-laki, tak tahu betapa aku senantiasa
kembali menjadi muda setiap kali terkenang anakku tersayang mengompol, atau
menangis malam-malam lantaran lapar, atau ketika ia memainkan puting susuku
sambil tertawa-tawa.
Dan seorang ibu tak akan pernah mengutuk anaknya menjadi batu, bahkan bila
anak itu durhaka. Bagi seorang ibu, anak tetap anak. Titik.
Namun, ia tetap membungkam. Di dalam hatinya, ia membui kemarahan
rapat-rapat seperti penjahat hingga setiap kali suaminya pulang, ia selalu
menjadi istri yang menyenangkan dan berbakti. Ia telah kehilangan anaknya. Ia
tak mau kehilangan lagi.
Seluruh hidupnya telah ia pasrahkan kepada dua orang laki-laki itu: suami
dan anak laki-lakinya. Kalau suaminya marah, bisa-bisa suaminya meninggalkan
rumah dan mencari rumah lain. Ia bukannya tak tahu bahwa selama ini suaminya
kadang-kadang menginap di sebuah rumah yang lain. Namun, ia tak pernah
memasalahkan hal itu.
Yang penting baginya adalah bahwa suaminya itu selalu menjadi suami yang
baik di rumah.
Apakah anak itu, seperti kata suaminya, memang telah menjadi durhaka dan
tak akan pernah kembali? Jika ya, maka anak itu tak pernah tahu bahwa makna
kata ibu dalam segala bahasa adalah sabar dan ketegaran menunggu. Dan kasih
Ibu, sebenarnya, tak hanya seluas samudera. Berapakah luas samudera? Orang bisa
mengukurnya dengan meter atau mil, tetapi perkakas apapun tak akan sanggup
menera berapa Kasih Ibu.
Suatu pagi, ketika membersihkan gudang belakang, ia menemukan sebuah
layang-layang rusak. Kertas layang-layang itu compang-camping dan warna
gambarnya telah pudar. Benda itu bersandar lesu di dinding, terhimpit kaki
sebuah meja tua.
Ia tercenung sejenak, lalu meletakkan sapunya dan menarik layang-layang itu
dengan hati-hati. Serbuk-serbuk kuning luruh dari layang-layang itu, menimpa
kakinya, dan sebagian hinggap di bajunya. Ketika ia menepuk-nepuk bajunya,
serbuk-serbuk itu berhamburan di udara dan membikin ia bersin-bersin.
Jari-jarinya yang keriput dan gemetaran menyusuri rangka bambu
layang-layang sementara benaknya tertatih-tatih merakit ulang ingatan. Lalu,
tanpa ia sadari, ia telah menghitung dalam hati dan bergumam, “ua puluh tahun.
Sudah lama sekali.”
Ia membawa layang-layang rusak itu ke ruang depan. Cahaya pagi menghambur
masuk lewat pintu yang terbuka lebar. Tetapi, dalam pandangannya, udara
tiba-tiba ditangkup remang. Ia juga mendengar azan maghrib. Layang-layang rusak
di tangannya telah hilang dan berganti sehelai kain sulam, sementara ia
bersandar di langkan pintu. Kepalanya tertunduk dan jari-jarinya yang kokoh
memainkan jarum dan benang dengan terampil. Sesekali ia mengangkat wajah dan
melempar tatapannya melintasi halaman, meloncati pagar bambu, dan berhenti di
kerimbunan kebun singkong di seberang jalan.
Di sela-sela suara azan, sayup-sayup ia mendengar suara kemersak kertas. Ia
tersenyum dan menunduk, berpura-pura meneruskan sulamannya. Dalam hati, ia menghitung
sampai sepuluh. Pada hitungan yang kesepuluh, tepat seperti dugaannya, sepasang
lengan mungil memeluk kakinya. Ia menyisihkan kain sulaman dan melihat, di
bawah sana, wajah mungil-kotor seorang bocah lelaki tengah memandangnya dengan
mulut sedikit terbuka. Ia tersenyum, membungkuk dan mengusap rambut kusut dan
berdebu bocah itu.
”Ayo masuk, Buyung,” bisiknya dengan lembut seraya meraih lengan bocah itu.
Sejenak, bocah itu tampak ragu-ragu, tetapi kemudian ia menurut. Mereka
berjalan melintasi ruang depan, melewati seorang laki-laki kekar berkaos
singlet yang tengah duduk membaca koran. Sesaat, laki-laki muda itu melirik
kepada si bocah, lalu meneruskan bacaannya.
.
Ia meletakkan kain sulamannya di sebuah kursi dan membimbing bocah itu ke
kamar mandi. Dengan cekatan, ia tanggalkan pakaian kumal bocah itu dan
memandikan, menyabuni dan mengeramasinya hingga bocah itu menggigil dan
tertawa-tawa. Setelah mengeringkan badan bocah itu, ia membawanya ke kamar dan
mendandaninya.
Kini bocah itu nampak tampan dan rapi dengan kemeja putih, celana pendek
dan sarung berwarna biru gelap. Kemudian ia memberikan sebuah Qur’an kepada
bocah itu dan membimbingnya ke ruang depan. Ia menunggu di pintu sementara si
bocah menghampiri laki-laki kekar itu. Si bocah mengambil tangan kanan
laki-laki kekar itu dan menciumnya dengan takzim.
”Pak, saya berangkat ke masjid dulu,” kata bocah itu.
Tiba-tiba ia tersentak. Sebuah sepeda motor dengan suara meraung-raung
melintas di jalan di depan pagar. Ia menggelengkan kepala dan berusaha
merangkai benda-benda nyata yang ada di sekelilingnya.
Namun, detik-detik menggetarkan itu telah bermukim dalam ingatannya....
Sering kali ia terjaga dengan tiba-tiba pada tengah malam karena bermimpi
tentang anaknya. Terdengar dengkuran suaminya meningkahi bunyi serangga di
luar. Pada saat-saat seperti itu, ia merasakan betapa jauh ia dari anaknya. Ya.
Pada saat-saat seperti itu, ia mengerti mengapa jarak bisa menjadi lebih tajam
dari pisau. Dan ia hanya bisa menatap langit-langit yang remang seraya meratap:
O Buyung, pulanglah, padamkan rindu dendam bundamu ini. Janganlah kita bertemu
hanya dalam mimpi.
Betapa ingin ia melihat anak itu. Sekadar melihat wajahnya, atau menyentuh
lengannya yang dulu ia bimbing dengan lembut, lengan mungil yang berdebu
sehabis bermain layang-layang sepanjang siang di pematang. Ia selalu teringat
saat-saat ia mendendangkan nina bobo sementara bocah itu terkantuk-kantuk dalam
buaiannya, atau ketika ia membisikkan kata-kata manis untuk menenangkan bocah
itu ketika si bocah bermimpi buruk. Ah, betapa anak itu lemah, membutuhkan
dahan tempat bergantung dan di waktu panas tempat berlindung.
Setiap kali teringat betapa lemah bocah itu, ia mengeluh: “Pulanglah,
Buyung, engkau tak kan kuat hidup di rantau.”
Namun, ia tahu bahwa anaknya tidak selemah itu. Waktu telah membuat anaknya
menjadi pemuda perkasa. Ya. Betapa ia selalu mencamkan prahara itu, ketika
seluruh negerinya tercabik-cabik saat anak-anak pertiwi lupa bahwa mereka punya
Ibu yang sama. Perang saudara hampir pecah di mana-mana. Semua yang berbau
negara rumpang dan poranda. Ah, pada saat-saat seperti itu, betapa negara
sangat mirip ibu tiri yang tak becus mengurus anak suami dari istri terdahulu.
Dan bagi saudara-saudara yang lelah menderita itu, suaminya, seorang pegawai
negeri berpangkat tinggi, kepala sebuah sekolah negeri, adalah perkakas negara.
Rumahnya diruntuhkan orang banyak, dan ia dan keluarganya tiba-tiba miskin
papa.
Saat itu anaknya telah lulus SMA, telah tumbuh menjadi seorang pemuda
angkuh. Masih terpacak jelas dalam ingatannya ketika keluarga besarnya
berhamburan mendatangi rumahnya membawa barang-barang berharga.
”Untuk kau pakai membangun kembali kebanggaan keluargamu yang punah,” kata
mereka.
”Kami tak butuh belas kasihan!” sembur anaknya saraya mengembalikan
barang-barang sumbangan itu.
Betapa ia selalu teringat ketika mengantarkan anak itu di stasiun kereta.
Seorang pemuda, hanya lulusan SMA, hendak menantang dunia. Ia dapat melihat
mata anaknya tajam menatap gerbong kereta kelas ekonomi yang penuh sesak.
Sekilas, ia melihat anak itu tersenyum. Sebelum naik gerbong sesak itu, anak
itu memeluknya erat-erat. Ah, betapa ia ingin saat itu abadi. Ketika kereta
mulai berangkat, hanya sekali anak itu menoleh kepadanya. Sekali saja, dan
sekilas, hanya sekilas, ia melihat dua butir air mengintip di mata anak itu,
tetapi anak itu cepat-cepat mengusapnya.
Betapa saat itu hatinya girang bukan kepalang. Ya. Ia tak mau anaknya
menjadi pemuda cengeng. Rasa-rasanya ia akan sangat berat untuk memaafkan anak
itu seandainya saat itu anaknya menitikkan air mata, biar cuma setetes.
Apakah suatu saat nanti bocah angkuh itu akan datang, mencium kakinya, dan
berkata untuk memadamkan hati gundahnya, “Ibu, Ibuku sayang, jangan menangis,
Ibu. Aku telah pulang, Ibu?”
Seorang pemuda angkuh seperti itu....
Kini, bertahun-tahun setelah suaminya meninggal, ia merasa bahwa yang
menjaganya tetap hidup adalah harapan. Ya. Harapan bahwa suatu saat nanti,
sebelum ia pulang ke Bumi, tempat segalanya menjadi Lupa, anak itu akan kembali
kepadanya. Ia sadar bahwa harapan itu seperti gelombang, selalu turun-naik.
Namun, ia bertekad untuk tetap menunggu, sekuat tulang sehabis tenaga, hingga
waktu terus berlalu, sampai ke anak cucu.
Apakah suatu saat nanti ia akan kembali, bersama dengan cucu-cucuku,
tanyanya dalam hati. Dan ia menangis sesenggukan.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar