Sabtu, 31 Juli 2021

Tentang Ayam Jantan yang Jatuh Cinta pada Bulan

(Kepada: Sujiwo Tejo, Ags Arya Dipayana, dan Nanang Hape)
 
Yanusa Nugroho
jawapos.com
 
”BULAN purnama,” begitu bisik seekor musang, sesaat ketika hendak menggigit leher ayam jantan muda itu, ”…memberimu pesona luar biasa. Sungguh malang, makhluk di bumi ini yang tak bisa bahkan menyaksikan cahayanya. Seperti kau ini…” Lalu musang pun tergelak-gelak penuh kemenangan.
 
”Dunia ini sungguh adil. Di malam hari, kau dibutakan, sementara mataku dinyalangkan. Alam menjadikanmu sebagai santapanku. Hahahahaha… Sejak matahari tenggelam, kau buta. Dan aku yakin benar bahwa kisah tentang rembulan yang kini tengah bertengger megah, cantik, mempesona itu, belum pernah kau dengar sama sekali.
 
Makhluk malang. Tapi, barangkali saja, kau sedikit lebih beruntung daripada cacing. Dia bahkan tak bisa membedakan cahaya matahari dan bulan… Hahahahahahahaa…”
 
Mendidih darah muda ayam jantan itu, demi mendengar penghinaan yang melumuri jiwanya. Dia, keturunan ketujuh Sawung Galih, ayam petarung paling ditakuti dan disegani di zamannya, tak bisa menerima kenyataan dihina oleh seekor musang. Darahnya mendesir, menjalari seluruh tubuhnya.
 
Dan pelahan, kekuatannya pulih, setelah beberapa saat lalu bagai remuk ditubruk si musang celaka. Tajiku, taji Sawung Galih dan di sana menderas daya penghancur lawan. Jika dalam sekali tendang, kau tak hancur, jangan sebut aku keturunan Sawung Galih.
***
 
Maka, kisah taji Sawung Galih pun kembali mengharum di antara mereka. Jago-jago petarung dari berbagai daerah merasa gentar setiap mendengar kisah bagaimana sepasang taji itu berhasil mencungkil sepasang mata musang. Ke mana pun dia pergi, tak ada yang berani menatapnya, kecuali –tentu saja– para betina, yang diam-diam berharap dapat menikmati kejantanannya.
 
Kokoknya akan membangunkan matahari dan kepak sayapnya membuat jago-jago lain memilih mencari kutu. Lehernya besar, kokoh dengan bulu-bulu merah darah berkilau-kilau ditimpa cahaya matahari. Paruhnya runcing, nyaris tak ada lekukan. Sepasang matanya nyalang, seakan menyelidik siapa yang bersikap menantang. Seekor ayam kate, diam-diam telah menyiapkan sebuah balada untuknya, namun yang selalu merasa gagal menemukan kata-kata.
***
 
Namun, itu semua dinikmatinya hanya ketika matahari masih menguasai bumi. Manakala senja turun, dan hanya keremangan yang melingkupi sepasang matanya, Sawung Galih –akhirnya nama itulah yang dikenakan kepadanya– merasa kesepian. Aneh, kisah rembulan purnama yang dituturkan si musang beberapa waktu silam itu, selalu hadir ketika senja membayang.
 
Mungkinkah ini semacam kutukan? Bangsa ayam tak bisa menikmati indahnya purnama? Diam-diam, dia mencoba mengingat-ingat dongeng induknya, yang selalu berkisah tentang siapa Sawung Galih dan bagaimana kehebatan ayam jantan petarung itu di zamannya. Dongeng itu akan mengantarkannya pada mimpi indah, di balik kehangatan sayap induknya.
 
Namun, memang sangat jarang kata ”bulan” muncul dari mulut induknya. Kalau pun ada, tentu hanya digunakannya sebagai bahan ejekan bagi kaum pungguk.
 
”Tapi, apakah ibu pernah melihat bulan?” tanyanya suatu kali dulu.
 
”Untuk apa? Apakah matahari tak cukup baik bagimu? Tidur! Kau harus malu jika saat ini matahari masih mendengar suaramu,” ujar induknya seraya merapatkan sayap-sayapnya.
 
Bangsa ayam ditakdirkan untuk hanya mengenal matahari dan meniadakan bulan dalam hidupnya. Itu sebabnya dia menjadi terheran-heran ketika suatu ketika –tanpa sengaja– mendengar percakapan dua tikus muda dari balik reruntuhan kayu, yang berkisah tentang gemerlapnya bintang-bintang mengelilingi bulan. Dia sendiri tak paham setiap kata yang diucapkan, namun anehnya, keindahan yang diungkapkan para tikus itu seperti mendapatkan jalannya sendiri hingga sampai di pemahamannya yang paling dalam. Ayam jantan itu menghela napas.
 
Entah mengapa, Sawung diam-diam merasa iri pada kaum jangkrik, yang selalu menyanyi memuja-muji purnama. Setiap malam, begitu senja lenyap digantikan gelap, kaum jangkrik dengan riang gembira menyanyikan lagu. Mungkin juga mantra bagi hadirnya rembulan.
 
Pernah dia bertanya kepada seekor jangkrik yang saat itu nyasar.
 
Setelah paham bahwa si Sawung tak mungkin bisa mematuknya, timbullah keberanian si jangkrik. Dia pun menjawab setiap pertanyaan Sawung –yang dirasakannya sebagai ketololan kaum ayam.
 
”Kau pikir, kami menyanyi setiap malam untuk apa, kalau bukan demi munculnya purnama?”
 
”Apakah dengan begitu dia akan muncul?”
 
”Hahahaha… bodoh betul kau Sawung. Tentu saja tidak. Itu sebabnya kami terus menyanyi. Dan akan tetap menyanyi ketika pada hari ke empatbelas dia menampilkan keindahannya yang sempurna. Ah, aku harus mengirimkan bunga duka cita untuk kebodohanmu. Hahahahahaha…krik!”
 
”Jaga mulutmu! Kalau saja…”
 
”Apa? Kau mau apa? Di arena laga –aku tahu– kaulah pemenangnya. Namamu mengharum di seantero dunia… ya, aku tahu. Tapi, bagiku, kau tak ada artinya, karena kau bahkan tak tahu apa itu keindahan. Hahaha… krik…krik…krik…”
 
”Ajari aku,” gumamnya.
 
Si jangkrik terdiam tiba-tiba. Bagaimana mungkin sesosok jagoan mau tahu tentang keindahan, apalagi belajar dari seekor jangkrik? Di kejauhan, nyanyian jangkrik melaut bunyinya, menusukkan sepi di jiwa sang petarung.
***
 
Sejak pertemuannya dengan jangkrik, Sawung makin kelihatan murung. Ada yang tiba-tiba dirasakannya sebagai sebuah tusukan. Puluhan bahkan ratusan kali robekan taji lawan pernah dirasakannya, namun tak ada yang menyamai rasa sakit yang disebut kesepian.
 
Si ayam kate berusaha menghiburnya, dia pun menyanyi, ”O pahlawan, kepak sayapmu benteng bagi kaum betinaaaaa… keeok!” Si kate menjerit, Sawung menggamparnya.
 
”Apa yang salah Sawung?”
 
”Berisik!”
 
”Oh, aku tahu, aku tahu… Mmmm… Sunyiiii… Keook!” Si kate terjungkal, kepalanya berkunang-kunang, namun dia tak bisa mengatakan bahwa kunang-kunang saat itu indah.
***
 
Keindahan rembulan, yang tak pernah disaksikannya, tiba-tiba menguasainya. Seperti sesuatu yang sebenarnya sudah ada namun tak pernah dipedulikannya. Sejak hari itu Sawung seperti linglung, di arena sabung dia seperti limbung. Tajinya sesekali mungkin merepotkan lawan, namun itu karena lawannya sudah gentar sebelum bertanding. Sawung sendiri pikirannya melambung, mencoba mencari sesuatu yang belum pernah disaksikannya. Dia seperti meninggalkan raganya, melayang jiwanya entah ke mana.
 
Cahaya yang tak pernah kusaksikan itu, yang memancar dari cerita mereka, menghancurkanku, meremukkanku hingga tak bisa kukenali siapa diriku lagi. Akan kucari kau, akan kutemukan kau, tak peduli walau sembunyi di kerak bumi sekalipun.
 
Akan kutelusuri malam demi malam, dengan segenap kebutaanku, seumur hidupku, mencari dan menemukanmu. Jika kau bersembunyi di balik matahari, maka akan kuhancurkan dia dengan tajiku. Jika kau berlindung di balik mendung, akan kusapu mendung dengan sepasang sayapku. Kokokan panjangku akan membelah petir dan membuatnya tak lebih dari sekadar percikan api tungku.
***
 
”Sawung, Sawung, Sawung!” teriakan-teriakan itu menggema memberinya semangat bertarung. Beberapa betina memamerkan pinggulnya, memberinya gairah kehidupan.
 
Sesaat Sawung seperti kembali ke bumi, dan sepijar kekuatannya menyala.
 
Tubuhnya melompat, sayapnya membutakan mata dan sepasang tajinya bergantian menembus leher lawan. Sorak-sorai menggema, si lawan sekarat.
 
Sawung tegak, mengepakkan sayap dan berkokok panjang. Dia dengan gairah kemenangannya melompat tinggi nyaris terbang. Melayang tubuhnya, sebelum akhirnya hinggap di semak-semak.
 
Akan kucari kau, jika perlu kubalik seisi dunia ini.
 
”Sudah kau temukan, apa yang kau cari?” Tiba-tiba sebuah suara berat, tua dan putus asa menegurnya.
 
Sawung terhenyak. Hanya selangkah di depannya, seekor musang tua dengan sepasang mata butanya tengah duduk di kerimbunan semak. ”Aku tak bisa melihatmu, tetapi bukan berarti aku tak bisa mengendusmu.”
 
”Haha… musang tua, dendammu belum padam juga.”
 
”Apa pedulimu? Apakah sudah kau padamkan dendammu dalam mencari keindahan itu?”
 
”Bulan?”
 
”Lidahmu sudah cukup fasih mengeja namanya. Namun, kurasa, kau baru sebatas mengeja dengan benar, kau belum siap menghadapi keindahan itu sendiri.”
 
”Akan kucari di mana pun dia bersembunyi!”
 
”Tak mungkin kau mampu.”
 
”Jelaskan, mengapa aku tak mampu.”
 
Musang menarik napas dalam-dalam, menoleh ke kiri. Sepi. ”Dengar, anak tolol. Apa yang kau gunakan untuk mencarinya? Coba jawab pertanyaan sederhana ini.”
 
”Tajiku akan mengoyak semua yang melindunginya. Sayapku akan menyibak segala yang melingkupinya.”
 
”Hmm… angkuh sekali. Kau pikir keindahan yang memancar dari bulan purnama adalah sebutir beras? Sawung, Sawung… ternyata kau bahkan lebih dungu dari yang kukira.”
 
”Apa maksudmu?”
 
”Kau pikir bisa kau taklukkan jarak semesta ini dengan sepasang sayapmu, yang bahkan tak sekuat pipit ketika melayang? Kau anggap bisa kau belah tabir keindahan dengan sepasang tajimu? Kau bahkan tak tahu apa-apa tentang sesuatu yang kau hadapi, tetapi suaramu seakan mampu membelah langit! Sadarlah bangsa rabun, kau tak akan bisa menemukan keindahan jika masih menggunakan cara bodohmu itu.”
***
 
Untuk kesekian kalinya, Sawung termenung. Tak disangkanya sama sekali, dia mendapat pelajaran penting dari bangsa pemangsanya.
 
”Ajari aku menemukan keindahan itu,” ucapnya lirih dan putus asa.
 
Musang tergelak, tegak, dan lari menjauh –tentu setelah beberapa kali menabrak sesuatu. Dari kejauhan tiba-tiba musang berteriak, ”Carilah di balik keangkuhan jiwamu. Sanggupkah kau menghancurkan ke-aku-anmu?”
***
 
Sejak pertemuannya dengan musang tujuh hari lalu, Sawung makin murung, terlalu suka merenung dan mengurung dalam kesunyiannya. Telinganya mulai ditulikan dari teriak tantangan, bahkan tajinya diam-diam dikeratnya. Dia tak makan dan tak minum, tubuhnya merapuh, sayapnya melumpuh. Dalam usia keemasannya, dia seperti lebih tua seratus tahun. Seluruh bulu merah yang membuat para betina termimpi-mimpi, kini tampak seperti puluhan lintah gemuk yang menggelayuti leher kurusnya. Dia tengah menghancurkan dirinya sendiri, mencoba mencari keindahan yang bersembunyi di balik keangkuhannya.
 
Suatu malam, di hari keempat belas, keindahan itu datang menjemputnya. Sawung tak bisa berbuat apa-apa. Jiwanya kosong, dan karenanya dia mampu menerima keindahan itu seutuhnya. Air matanya berlinang, dia pun merasaan kebahagiaan yang belum pernah dialami sebelumnya.
***
 
Bangsa ayam berduka. Mereka menemukan jasad Sawung tergolek merana. Si ayam kate menyanyikan baladanya, ”Telah gugur jagoankuuuuuu…. Tu… keook!”
 
”Berisik!”
 
Dan malamnya, jutaan jangkrik melantunkan kidungnya, kaum musang menebarkan keharuman tubuhnya, dan bangsa pungguk terdiam seribu bahasa, menatap entah apa di atas sana.
***
 
Pinang, 982. http://sastra-indonesia.com/2010/01/tentang-ayam-jantan-yang-jatuh-cinta-pada-bulan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar