suarakarya-online.com
Ada sebuah pameo umum yang menyatakan bahwa “masa remaja adalah masa yang paling indah”. Akan tetapi, apakah masa remaja itu sebenarnya?
Masa remaja adalah suatu masa, suatu fase yang tak dapat dielakkan oleh setiap manusia. Setiap manusia akan senantiasa mengalami atau melalui masa atau fase ini sebelum ia sampai pada fase yang lebih mantap, yakni: fase dewasa atau masa dewasa. Oleh sebab itu fase ini juga dapat disebut fase transisi atau masa transisi, karena dalam fase atau masa ini ia berada pada titik perubahan dari seorang kanak-kanak, menuju titik di mana nantinya ia akan dikenali sebagai orang dewasa yang telah memiliki karakter yang mantap dan mapan.
Ada banyak tanda yang muncul menandai masa atau fase remaja ini. Perubahan bentuk tubuh, meningginya kadar hormonal, dan berubahnya faktor emosional merupakan beberapa tanda yang menandai sampainya seorang manusia atau individu pada masa atau fase ini. Akan tetapi, di luar faktor fisik dan biologis tersebut, ada satu kekhasan yang selalu muncul pada individu yang telah sampai pada fase ini, yakni semangat akan pencarian jati diri yang kuat yang dibarengi dengan keinginan akan pengakuan eksistensinya di dunia tempat dia berada.
Pencarian jati diri yang kuat yang dibarengi dengan keinginan yang kuat pula akan pengakuan eksistensinya merupakan pemandangan yang khas yang kerap kita temui dalam kehidupan masa remaja dan kaum remaja. Sebagai individu yang berada pada fase ini, hal-hal yang berkenaan dengan keberadaan eksistensi beserta pengakuan dan pencariannya tersebut merupakan hal yang khas dan sangat krusial bagi pribadinya.
Hal semacam ini terjadi semata-mata karena eksistensi yang didapat dan dikenakan padanya semenjak masa kanak-kanak, pada fase ini sudah tidak pantas diembannya lagi. Hal ini terjadi setelah banyak hal diperkenalkan pada fase kanak-kanak membutuhkan jawaban atas kebenaran hal-hal yang telah disuguhkan atau diberikan kepadanya pada fase ini.
Fakta-fakta dan kebenaran-kebenaran yang telah didapatnya pada fase kanak-kanak, pada fase ini, menurut mereka, sudah tidak pantas lagi atau sudah tidak cocok lagi. Oleh karena itu berbagai pergolakan muncul dan meruak dalam ruang psikologis mereka. Bagi mereka nilai-nilai realitas dunia masa kanak, kini sudah tidak cocok apabila dikenakan lagi pada meraka. Oleh karena itu banyak pertanyaan muncul dalam diri mereka, dalam benak mereka, yang membutuhkan jawaban yang nantinya akan membawa mereka ke fase berikutnya, yakni: fase dewasa. Dan jawaban itulah nantinya yang membentuk individu tersebut secara karakter dan eksistensi pada masa atau fase dewasanya. Maka sedikit saja kesalahan atau mis yang terjadi dalam fase atau masa ini dapat menjadikan seorang manusia tersebut menjadi manusia yang tak berkarakter yang mantap dan mapan pada masa dewasanya nanti.
Pencarian jati diri yang kuat yang dibarengi dengan keinginan yang kuat pula akan pengakuan eksistensinya, biasanya mendorong kaum remaja untuk melakukan ekspresi diri secara besar-besaran. Keinginan untuk melakukan ekspresi diri demi tercapainya penemuan akan jati diri dan pengakuan akan eksistensi yang besar tersebut kerap kali, apabila tidak hati-hati, justru menjerumuskan seorang manusia atau individu yang sedang mengalami fase atau masa remaja tersebut ke dalam hal-ihwal yang negatif, seperti kecanduan akan narkoba, atau terjerumusnya seorang remaja ke dalam hal-ihwal kriminal.
Salah satu sarana agar tidak terjerumusnya seorang remaja atau kaum remaja pada hal-ihwal negatif adalah sastra. Sastra merupakan sarana atau wadah yang dapat dikatakan efektif untuk mencegah terjerumusnya seorang remaja atau kaum remaja kita pada hal-ihwal yang negatif. Melalui sastra, hasrat ekspresi diri yang meluap-luap dari kaum remaja dapat disalurkan, diwadahi, atau bahkan dimanifestasikan dalam bentuknya yang paling baik dan positif. Oleh sebab itu pengenalan sastra secara intensif dan efektif pada kaum remaja adalah yang penting dan sangat krusial.
Mengingat pentingnya pengenalan sastra secara intensif dan efektif pada kaum remaja tersebut, maka sudah seyogyanya hal terserbut tidak hanya dibebankan pada lembaga-lembaga pendidikan formal semacam sekolah, universitas-universitas, atau perguruan tinggi saja, melainkan sudah sepatutnya pula dibebankan pada lembaga-lembaga pendidikan non-formal, semacam komunitas-komunitas sastra ataupun sanggar-sanggar sastra, sebab hanya dengan begitu pengenalan terhadap “apakah sastra itu” dapat terjadi secara efektif, intensif bahkan efisien.
Fenomena Remaja
Sampai di sini muncul satu pertanyaan dalam benak saya, yaitu: “sampai di manakah pengenalan sastra terhadap kaum remaja kita saat ini?”
Meskipun tidak terlalu menggembirakan, akan tetapi dengan semarak bermunculnya karya-karya sastra bergenre chiklit dan teenlit dalam lapangan kesusastraan kita belakangan ini seakan-akan memberikan angin segar pada kehidupan sastra kita. Lapangan kesusastraan kita yang tadinya menjadi semacam anomali, atau hal aneh dan begitu asing, sehingga cenderung untuk dijauhi, dalam kehidupan kaum remaja kita, dengan munculnya dua genre karya sastra tersebut, tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang begitu diminati, diakrabi, bahkan dicintai oleh kaum remaja kita.
Besarnya minat dan cinta kaum remaja kita terhadap dua genre karya sastra tersebut dapat dilihat dari tingginya daya beli dan daya baca kaum remaja kita terhadap dua genre karya sastra tersebut. Selain itu, besarnya minat dan cinta kaum remaja kita terhadap dua genre karya sastra yang lagi trend dalam kehidupan remaja kita saat ini tersebut, juga dapat dilihat dari berkembangnya tema-tema obrolan kaum remaja kita.
Tema obrolan remaja kita yang tadinya hanya didominasi oleh tema-tema mengenai mode pakaian atau musik, kini tidak lagi. Tema obrolan mengenai chiklit ataupun teenlit yang lagi in di kalangan mereka, juga menjadi salah satu tema pokok yang kerap muncul dalam obrolan kaum remaja kita.
Maka janganlah kita heran ataupun terkejut apabila kita sedang berjalan-jalan di sebuah mall atau plasa menemukan dua remaja sedang berdebat tentang isi novel chiklit atau teenlit yang telah ataupun sedang mereka baca. Ataupun juga janganlah kita tenganga-nganga ketika mendengar dua orang remaja atau lebih sedang memperbincangkan penulis-penulis semacam Fira Basuki, Dee, ataupun Djenar Maesa Ayu begitu akrabnya, karena hal tersebut saat ini memang telah menjadi semacam obrolan keseharian bagi remaja kita. Hal ini telah menjadi bagian dari dunia mereka.
Ini sebenar-benarnya merupakan keadaan dan pemandangan yang dapat dikatakan cukup memberikan harapan bagi lapangan kesusastraan kita.
Di tengah minimnya penghargan masyarakat kita terhadap hal-ihwal berbau sastra, ternyata masih ada setitik harapan untuk terus menumbuhkembangkan kecintaan terhadap sastra, dan penyadaran akan keberadaan dan penting sastra bagi kehidupan bangsa kita, utamanya pada kaum remaja kita.
Dan apabila hal semacam ini dipupuk terus keberadaannya, barangkali kelak di kemudian hari kita dapat mengharapkan dan membayangkan terjadinya obrolan-obrolan kaum remaja kita yang tidak hanya berbicara atau memperbincangkan karya-karya para penulis semacam Fira Basuki, Dee atau pun Djenar Maesa Ayu saja, akan tetapi juga karya-karya penulis sastra semacam William Faulkner, Dylan Thomas, Stephane Mallarme, Aime Cesaire, Octavio Paz, Toni Morrison, Subagio Sastrowardoyo, Budi Darma, dsb. Terima kasih.
* Penulis adalah penyair, esais, anggota Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar, anggota dewan redaksi majalah sastra-seni Imajio, staf pengajar Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga Probolinggo. http://sastra-indonesia.com/2010/12/sastra-dan-fenomena-dunia-remaja/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar