Rabu, 06 Januari 2021

SASTRA DAN PETA YANG (TAK) USAI TERBACA

Semacam Testimoni dalam Benderang Kenangan
 
Y. Wibowo
 
“Ketimbang menemukan dunia, kita menciptakannya.” (Nelson Goodman).
Karya sastra dapatlah diandaikan serupa peta penuh tanda dan penanda. Dalam membaca dan menikmati kita dapat menjadi turis, pelesiran disepanjang alur dan maknanya. Hanya saja di sisi lain, munculnya sebuah pemaknaan atau tafsir terhadap karya sastra juga biasanya muncul beriringan dalam menikmati karya sastra tersebut. Namun, sebagai awam –jika berkehendak, keinginan untuk terus membaca karya sastra (apapun namanya) hingga selesai, menikmati sentuhannya hingga tuntas, gigil-sunyi karena dicubit kenangan yang terpendam dalam karya yang terbaca, atau terus bernostalgia atas kampung halaman; tentang pacar lama, panorama alamnya, atau artefak-artefak tatanan sistem para penghuninya yang seiring waktu telah berubah menjadi angkuh dan kian purba.
 
Dan diantara kelindan tanda dan penanda karya sastra, diantara empirisme yang kasatmata, kenyataan hari ini, pandangan akan masa depan, atau mula sebiji kata yang teramu dalam beragam karya sastra, yang juga jauh-jauh hari diyakini berjalin ‘sesuatu’, yang boleh jadi hal itu merupakan ‘kegelisahan akan yang lain’, dan dapat menghantarkan ke semacam meruahnya perayaan atau perjalanan sebuah ziarah, atau ke sesuatu yang tak (akan) usai terbaca.
 
Pemaknaan-pemaknaan tersebut telah menjadi suatu hubungan yang niscaya dan merupakan dasar korespondensi yang intens, seperti para penyair dalam berkarya yang tidak harus terjebak dalam menyerap bahasa yang terpampang sebagai kenyataan sehari-hari, melainkan memilah untuk sublim pada entah estetikanya, pun menyusur dalam tukikan hakikat kenyataan sehari-hari itu. Namun, hubungan yang niscaya tersebut bahkan dapat berujung pada suatu analogi total tentang hal-ihwal. Hal-ihwal inilah yang (telah dan akan) selalu mengungkapkan dirinya melalui analogi-analogi yang saling bersahutan, seumpama sejak hari ketika Tuhan mengucap dunia sebagai totalitas yang kompleks dan tiada terpisahkan.
***
 
Dalam korespondensi yang intens, yang universal, proses penciptaan berarti sebuah upaya pencarian terus-menerus, atau sebuah metamorfosa abadi, dan empirisme personal dalam hidup yang kemudian lekat seumpama sejarah diri atau kenangan yang terus berjalan menjelma teks, dan tentu, hal ini sebuah konsekwensi dalam beragam karya sastra, karena proses penciptaan sebuah karya terkadang mesti mengalami semacam pertarungan-sublimitas-individual.
 
Maka teks yang menjelma dan bernama dalam sebuah dunia entah itu kenangan, kenyataan hari ini atau pandangan akan hari depan bukanlah satu, tapi banyak. Semisal keasyikan meramu kenangan yang meruah segar akan kampung halaman, Lampung, dalam mendedahkan dalam teks, setiap kata dari bait ke bait, dari halaman demi halamannya merupakan tafsir atau terjemahan dan metamorfosis dari halaman lain, dan proses penggandaan ini terus berulang, tanpa akhir. Dunia (kenangan) adalah metafor dari metafor. Dengan demikian, dunia (kenangan) bila tak terkendali dapat kehilangan realitasnya dan menjelma jadi gaya wicara (figure of space). Lalu, penggandaan teks mengandung implikasi bahwa tidak ada teks yang original. Realitas dunia dan makna bahasa meluncur bersama, lalu lenyap keruang hampa, kosong.
 
Semisal Octavio Paz melihat bahwa dengan mengatakan “Tuhan mengucap dunia” (bukan “menciptakan dunia”), dan Baudelaire yang sesungguhnya memandang dunia sebagai kata, telah memilih sebuah konsekwensi, tentu saja bahwa semesta adalah bahasa, sebuah skrip. Inilah bahasa yang bergerak dan berubah selamanya. Setiap kalimat melahirkan kalimat lain, dan masing-masing kalimat itu senantiasa mengatakan sesuatu yang berbeda, namun sekaligus sama.
 
Maka tinggallah kekosongan yang terbentang dalam jantung sebuah analogi, semacam sains yang hanya eksis dalam nikmat perbedaan; justru (bahwa) karena X (kenangan) dan Y (kenyataan), sebuah jembatan yang menghubungkan X dan Y menjadi mungkin. Dan perbedaan itu diterima dengan nalar persamaan, sekaligus yang tidak menghapus perbedaan; ia menebusnya dan menjadikan eksistensi tak tertanggungkan.
 
Dan mencapai realitas berarti mengakui (apa yang disebut Stanley Cavell) sebagai kemustahilan bahwa satu diantara tak terbilang deskripsi yang benar tentang saya menyatakan siapa saya. Menafsirkan kenangan dan memahami realitas hari ini atau mendatang menjadi sebuah pencarian bukan-hakekat atau hakekat kebenaran, dan hal ini harus terus dibongkar karena bisa jadi tak lebih daripada melakukan studi komparatif terhadap bermacam-macam deskripsi, cara bicara, wicara, dan wacana yang tercantum dalam katalog peradaban sebuah dunia.
 
Seperti dalam karya sastra yang berthema dirundung kenangan akan kampung halaman, sebagaimana dengan seseorang yang telah pergi sekian masa dan pulang kampung di Lampung. Dan disaat itu menemukan tanah kelahirannya sebagai sesuatu yang segar, meruah akan makna, dan seseorang itu terantuk-terserimpung tanda-tanda. Apakah itu tentang riak way sekampung, sebilah badik, gading yang patah, tapis yang terbebat di dada seorang gadis, bangkai jung, sebuah anjung? Dalam ruang bermain bagi proses penciptaan karya sastra, realitas akan menopang kenangan yang berupaya menafsir-menata-menangkap sejumlah keping (semesta) kampung halaman; sementara seni menyokong etika yang berjuang menangkap sebagian lain dari keping (semesta) kampung halaman yang sama. Dus, apappun yang terdedah (dalam karya sastra tersebut) dengan pilihan themanya, tak lebih dan tak kurang, hanyalah sebuah (genre) karya sastra.
 
Inilah sebuah “kritisisme budaya,” suatu ziarah dalam apa yang disebut Rorty sebagai “komedi-putar-sastra-sejarah-antropologi-politik.” Hal ini tentu lebih luas jika studi komparatif dengan sebuah tafsir atas sikap politik tertentu yang melulu bersoal pada aras “kekuasaan” dan “kemuliaan.” Dengan memahami kecenderungan “kekuasaan” sebagai terminologi politik yang telah dan akan dihasilkan dari relasi-relasi sosial, dan “kemuliaan” menjadi semacam opus spirituale yang tercermin dalam perilaku.
 
Melihat persamaan dan perbedaan, melihat bagaimana hal-ihwal saling berkaitan, terasa akrab dengan analogi. Filsafat Rorty adalah metafor puisi Boudelaire. Metafor dari metafor dari metafor, ad infinitum. Dibaliknya; kekosongan realitas dunia silam kian selesai, dan tempatnya digantikan ajang politik pemaknaan. Sebuah bukan –dunia—jika dunia adalah bangun, tata, anatomi, pusat, dan sejenisnya. Namun, tentu engkau tahu, politik bukan tanpa resiko.
 
Tanpa pretensi berfilsafat, tengoklah “warga kebudayaan post-filosofis,” mereka adalah yang dengan enak berbicara tentang apapun. Intelektual serba-bisa; dia yang bergerak dengan cepat dari Hemingway ke Proust ke Hitler ke Mark ke Foucault ke mary Douglas ke situasi Asia Tenggara mutakhir ke Gandhi ke sophocles. Seorang penetas nama-nama, ia yang memakai nama-nama ini untuk mengacu kepada perangkat-perangkat deskripsi, sistem simbol, cara pandang. Keahliannya adalah melihat persamaan dan perbedaan diantara gambar-gambar besar, diantara usaha-usaha untuk melihat bagaimana hal-ihwal saling berkaitan,” demikian Rorty.
 
Sedang kemungkinan untuk sampai diluar pemahaman yang melihat bagaimana hal-ihwal akan kenangan kampung halaman yang saling berkaitan adalah suara afirmatif, hal tersebut mungkin prospek kebudayaan yang (hanya) mau membuka matanya terhadap bagaimana segala macam kosakata dari seluruh khazanah zaman dan budaya yang saling terkait satu sama lain. Karena kebenaran telah menjadi nama-nama suatu properti yang terkandung dalam semua kalimat yang benar. Artinya, ia hanya berlangsung dalam bahasa, medan permainan makna-makna.
 
Bila kenangan akan dunia dan realitas dunia dibangun dalam bahasa dengan segala ambiguitasnya, tentu mustahil mendapati dunia tanpa mengacu pada seperangkat deskripsi yang dipilih ditengah lautan deskripsi yang lain. Tabik!
***

http://sastra-indonesia.com/2008/08/sastra-dan-peta-yang-tak-usai-terbaca/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar