Sabtu, 08 Mei 2021

Bayangan Bahtera Nuh

Ida Fitri *
Jawa Pos, 17 Mei 2020
 
MEMBOLAK-BALIK lembar catatan lusuh yang tergeletak di atas meja, Namaha terlihat tak bersemangat. Ia telah mengkhianati janjinya sendiri untuk tak kembali ke Banda Aceh. Tiga puluh hari telah berlalu, aroma kematian masih tercium jelas dari jendela rumah tempat ia menginap. Anjing berdengking, menemukan sepotong tangan yang telah membusuk dan terjepit reruntuhan bangunan atau melihat hantu-hantu yang meratap karena tak menemukan jasadnya. Lengkung sekarat sang rembulan bertengger di langit, kekasih bumi yang terus mengelilinginya selama 4,53 miliar tahun. Entah sampai kapan tetap setia. Nuh, kekasih Namaha, tak sesetia rembulan. Nuh lebih memilih lautan. Namaha kembali membaca catatan lusuh itu.
 
Senin, 27 Des 2004, 15.30 WIB. Rumah tlh sunyi. Ank-ank kos sdh plg kpg. 2 yg msh bertahan. 1 blm berhasil menemukan adknya. 1 blm mendapatkan tiket ke Jakarta. Lula, Amra, dan pembantu telah kukirim dgn bus ke kpg. Nyak Wa plg kpg dng mobil mereka. Aku blh menggunakan slh 1 kamar kos yang telah kosong. Rmh benar-benar sunyi. Ttp tenang. Aku hrs berjalan kaki sejauh 5 kilo ke Lingke, mencari mayat si bungsu yg terlepas dr tangan pembantu, pagi kemarin. Aku tak melihat 2 penghuni kos lain. Mungkin sdg mencari adknya. Saat gempa besar, aku mengajak klg keluar rmh. Kami berteriak memanggil Tuhan. Tuhan tak menyahut. Sebuah rmh yang blm diplester ambruk. Kami menangis. Kemudian gempa berhenti. Kami bersyukur pada Tuhan yg menunda akhir dunia. Tidak ada korban jiwa. Tp itu baru permulaan. Aku hrs ke Lingke!
 
Setitik bening jatuh dari sudut mata Namaha. Sore itu Namaha telah berada di pengungsian. Mereka kekurangan air bersih dan makanan. Perutnya melolong minta diisi, matanya masih mencari satu sosok di antara orang-orang yang berlalu-lalang; Nuh, sang suami tercinta. Mereka terpisah kemarin, ketika air laut tumpah ke darat.
 
Namaha dan suaminya menyewa rumah dua kamar di Punge. Tiap Minggu pagi mereka berlari-lari kecil ke pantai Ulee Lhe untuk mandi di laut. Melihat laut menimbulkan ketenangan, membuka simpul-simpul rumit di kepala. Pagi itu mereka sudah sampai di pantai, dunia mulai bergoyang, air laut berkecipak; semua orang menyebut nama Tuhan. Namaha dan Nuh saling berpegangan. Gempa berakhir sepuluh menit kemudian.
 
Keduanya hendak meninggalkan pantai ketika seseorang berseru, ”Air laut surut!” Anak-anak, tua-muda, berlari mengambil ikan-ikan yang menggelepar. Namaha merasa hal buruk akan terjadi. Mungkin ia telah melupakan gejala alam yang didapat di sekolah dulu, yang menandai sebuah bencana besar, atau sekolah sama sekali tak pernah mengajari itu. Nuh mengajaknya pulang.
 
Belum seratus meter melangkah, suara pesawat tempur menderu dari laut. Begitu mereka berpaling, air sudah naik setinggi dua pohon kelapa dan menelan apa saja. Berpegangan tangan, mereka lari, lalu ujung ombak menyapu. Namaha tak bisa merasakan apa pun setelah itu. Saat sadar, ia sesak karena terjepit batang-batang pohon yang terbawa air. Melihat ada yang lewat di dekatnya, Namaha berteriak. Namun, suaranya tak keluar.
 
Beruntung, lelaki itu berbalik dan melihat Namaha. Lelaki itu menggeser kayu yang menjepit Namaha dan membantunya berdiri. Perempuan itu tak ingin percaya pada penglihatannya. Pohon-pohon tumbang, rumah-rumah roboh, seng dan kaca berserakan. Mungkin tangan malaikat jua yang menepis benda-benda itu dari Namaha.
 
Namaha harus menemukan Nuh. Ia berjalan tertatih di antara tubuh-tubuh sekarat yang tergeletak dalam lumpur. Orang-orang akan datang menolong mereka, membantu menemukan Nuh. Seluruh tubuh Namaha terasa nyeri, perutnya mual. Ia kemudian memuntahkan cairan hitam. Seorang lelaki membantu Namaha yang terhuyung dan membopongnya berjalan di antara puing-puing, menuju ke depan sebuah masjid. Lelah dan takut, Namaha sejenak lupa kepada Nuh, bahkan lupa menanyai nama penolongnya. Ia hanya ingin selamat.
 
Namaha menghapus air matanya. Ia kemudian mengambil kertas lusuh lainnya dengan acak.
 
Kamis pg, 30 Des 2004. Sgt lapar. Dr kemarin tak makan. Aku akan pergi ke pendopo. Mungkin di sana ada dapur umum. Aku harus bertahan sampai besok.
 
Catatan yang sangat pendek. Ada lingkaran-lingkaran tak beraturan di bawahnya. Namaha menghela napas. Hari keempat pascabencana, ia telah berada di Bandara Sultan Iskandar Muda, bersiap evakuasi ke Medan. Para pengungsi datang dari berbagai arah, ingin cepat-cepat meninggalkan tanah terkutuk ini.
 
Ketakutan kembali menghantui ketika Namaha duduk di bangku pesawat. Satu hari sebelumnya, pesawat yang hendak terbang menabrak seekor kerbau. Kecelakaan itu menghambat kepergian dan kedatangan pesawat lainnya. Beruntung, Hercules yang ditumpangi Namaha lepas landas tanpa kendala.
 
Sesampai di Kualanamu, Namaha mendengar azan Asar. Ia berjalan ke musala bandara dan merasa ada yang salah dengan orang-orang yang sudah berdiri untuk sembahyang. Matanya melirik panah yang menunjuk arah kiblat, orang-orang itu salat menghadap timur. Dan Namaha ikut berdiri di belakang mereka. Hatinya berkata, ia tidak akan kembali ke Banda Aceh.
 
Namaha mengambil kertas lainnya sambil menebak-nebak umur anak yang masih digendong oleh pembantu di rumah yang kamarnya ia sewa. Bocah itu pasti belum berumur 2 tahun.
 
Selasa sore, 28 Des 2004. Aku br kembali dr Lingke. Rmhku msh dipenuhi lumpur. Mayat-mayat yg kulihat sebelumnya masih ada di sana; telanjang. Tdk ada yg memindahkan atau menguburkan. Setiap org sibuk dgn urusan masing-masing. Di jln yg air bah tdk sampai; mobil, becak, sepeda motor dibiarkan begitu sj, tak ada bensin. Aku dokter, tp blm pernah melihat mayat sebanyak itu. Aku tidak menemukan mayat ankku. Oh, ankku yg sdh bisa memanggil ayah. Aku mencari dengan tangan dan kaki ke tiap sudut ruangan. Mungkin bsk hrs kucari di luar rmh. Aku kehabisan makanan, makanan terakhir cukup untuk makan mlm. Aku ingin memeluk ankku sekali lagi, Tuhan!
 
Lelaki yang menulis catatan-catatan ini ternyata seorang dokter. Namaha menyewa kamar ini selama satu minggu dengan harga sangat mahal dari pemilik rumah yang telah kembali.
 
Pada hari yang sama, Namaha berada di tenda pengungsian di depan masjid. Beruntung, cederanya tidak berat. Namaha melihat kematian-kematian di dekatnya karena tak sengaja meminum air laut bercampur lumpur. Juga karena terlambat mendapat pertolongan akibat patah tulang rusuk dan cedera berat lainnya.
 
Mereka dibaringkan di tenda di halaman masjid dengan pengobatan seadanya. Ia mendengar bahwa RS terendam lumpur. Listrik mati. Orang-orang mengantre untuk segera ditangani. Sementara jalur telekomunikasi terputus. Belum ada kabar dari Nuh, meski Namaha sudah bertanya kepada orang-orang yang ia kenal dan orang-orang yang tidak ia kenal di sekitar tenda.
 
Makanan semakin langka, beberapa orang berhasil membawa pulang bungkus mi yang terbawa gelombang. Sementara air minum semakin berkurang, PDAM mati, bayi-bayi menangis kelaparan. Menurut salah satu korban yang juga kehilangan rumah, besok mereka harus berjalan ke bandara. Kerusakan akibat bencana sangat parah sehingga tempat itu susah diakses. Dalam hatinya, Namaha berharap keluarganya di kampung aman. Tapi, tak satu pun dari mereka yang datang menemuinya. Namaha tersadar dari lamunan dan kembali membaca kertas lusuh lainnya.
 
Rabu, 29 Des 2004. Aku berusaha ttp waras. Td di jln, seorg laki-laki memotong jari mayat dan mengambil cincinnya. Aku ingat wajah pencuri itu. Tapi tak berusaha mencegahnya. Mungkin roh wanita malang itu tlh mengutukku. Aku blm berhasil menemukan mayat putraku. Plngnya, aku melihat seorang pemuda mengendarai motor sambil mengikat mayat ke badannya.Mungkin itu abg, adk, atau ayhnya….
 
Namaha pernah mendengar kepiluan dan kejahatan pada hari-hari setelah tsunami. Ia mencoba mengingat-ingat. Tanggal 29 Desember, ia sudah merasa lebih baik dan mulai berpikir untuk mencari Nuh. Ia keluar dari tenda pengungsian, menyusuri jalan menuju pantai. Belum seberapa jauh melangkah, ia melihat pemandangan yang membuatnya kembali teringat pada bencana Minggu pagi. Sampah-sampah dan mayat-mayat masih berada di jalan dan perempuan itu merasa air laut kembali akan naik, ia menjadi sulit bernapas dan duduk di atas trotoar kotor. Sebuah tangan menyodorkan air mineral, Namaha meminumnya beberapa teguk. Kemudian, sebuah mobil datang membagi-bagikan air mineral dan mi instan. Tangan pertama yang berhasil memegang kardus langsung memeluk barang itu dan membawanya pergi, abai pada mata-mata lain yang juga kehausan dan kelaparan. Saat yang lain saling berebut air mineral dan mi instan, Namaha segera meninggalkan tempat itu.
 
Tengah malamnya di pengungsian, mereka mendengar seseorang berteriak, ”Air laut naik lagi!” Orang-orang berlarian tanpa arah, mengulangi apa yang mereka lakukan Minggu pagi lalu. Salah seorang relawan berusaha menenangkan mereka dan mengatakan bahwa teriakan itu dilontarkan orang tak bertanggung jawab. Para pengungsi mengabaikannya. Mereka kembali berlari. Berlari ke arah bandara. Namaha salah satu dari orang-orang yang panik dan ikut berlari. Mereka terus berlari, abai pada lecet dan rasa sakit, sampai mata mereka melihat pintu gerbang Bandara Iskandar Muda.
 
Namaha menyusun kertas-kertas lusuh tersebut sesuai tanggal penulisan. Tetapi tetap tak berhasil menemukan kertas bertanggal 31 Desember 2004. Padahal, pada 30 Desember 2004 lelaki itu mengatakan akan bertahan sampai besok. Mungkin ia lelah atau sudah menemukan mayat anaknya.
 
Tangan Namaha meletakkan kembali kertas-kertas lusuh catatan lelaki yang sempat tinggal di kamar itu. Ia naik ke tempat tidur dan memejamkan mata. Betapa berat hari-hari yang dilalui keluarganya saat mencari keberadaan Namaha dan suaminya sebulan lalu. Rumah yang mereka sewa sudah tak berbekas. Tersisa pohon mangga di sudut halaman sebagai penanda. Keluarga Namaha tinggal di Nagan. Sementara keluarga suaminya tinggal di Kaju, salah satu daerah yang diratakan tsunami. Besok pagi Namaha akan pergi ke pantai Ulee Lhe, di mana kali terakhir ia melihat suaminya. Seperti sang nabi, Nuh telah pergi mengarungi laut dengan membawa serta seluruh keluarga, kecuali istrinya.
 
Idi, 21 Maret 2019

*) Ida Fitri, lahir di Bireuen, Aceh, tanggal 25 Agustus. Kumcer pertamanya berjudul “Air Mata Shakespeare” terbit tahun 2016, dan kumcer keduanya bertajuk “Cemong” terbit di tahun 2017. http://sastra-indonesia.com/2021/05/bayangan-bahtera-nuh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar