Senin, 10 Mei 2021

Napak Tilas Perdamaian dari Jogja

Bernando J. Sujibto *
 
Tidak salah jika hidup memburu kedamaian. Meskipun sesulit apapun bentuknya, damai selalu menjadi tujuan hidup terakhir kita. Namun sejalan dengan itu pula, damai seolah menjadi utopis, sebuah konstruksi yang tidak pernah tercapai. Entah dimana kelak kita menemukan nilai damai (peace) itu?
 
Setiap tanggal 21 September, sejak Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2001 melalui resolusi 55/282, ditetapkanlah Hari Perdamaian Internasional. Ini adalah salah satu upaya demi menuai kedamaian hidup bersama di muka bumi. Jalan menuju perdamaian pun ramai diserukan oleh semua orang kahir-akhir ini, lebih-lebih oleh badan internasional sekelas PBB. Perdamaian seperti suatu idealita kehidupan yang didamba-dambakan bersama. Namun, di tengah gejolak konflik perang yang berkepanjangan dan ancaman inkonsistensi terhadap sistem dunia khususnya negara-negara adikuasa, perdamaian seperti sebuah utopia! Ia pun menjadi proyek sarat kepentingan di pentas global.
 
Saat ini waktunya kita mulai mengurai sebuah perspektif baru tentang perdamaian yang sedikit terlewatkan oleh institusi-institusi global di atas. Dari Jogja melalui buku Pelangi Damai di Sudut Jogja, nilai kedamaian itu bisa dihadirkan dalam setiap kesempatan kapan dan dimana pun. Karena perdamaian, ala perspektif buku ini, adalah suatu yang dekat, familiar, dan siapa pun dapat mewujudkannya. Ia bukan barang “dagangan” yang harus dilegokan dalam pentas lelang internasional! Namun, nilai perdamaian dapat dimulai dari diri sendiri, berlanjut kepada lingkungan keluarga, lingkaran sosial masyarakat, nasional, dan hingga dirasakan ke pentas internasional.
 
Dalam perkembangannya, istilah damai terus bermetamorfosis sesuai dengan zaman dan ruang tafsirnya sendiri. Ia bukan sekedar bermakna Pax, dalam bahasa Roma kuno, yang didefinisikan sebagai Absentia Belli, ketiadaan perang. Namun hadirnya keadilan (presence of justice) -dalam segala bentuk dan implikasinya- di tengah sistem kehidupan yang kompleks menjadi ejawantah arti damai yang patut diapresiasi bersama. Tesis itu muncul dari jargon perdamaian yang cukup populer seperti ucapan Martin Luther King, Jr: “True peace is not merely the absence of tension: it is the presence of justice.” Ketiadaan perang tidaklah cukup dijadikan justifikasi bahwa kehidupan kita telah menggapai perdamaian di muka bumi.
 
Damai Ada di Sekitar
 
Hadirnya buku ini seperti hendak menegaskan bahwa damai ada di sekitar, tepatnya di komunitas kecil dimana kita berkumpul. Buku ini terbit dari hasil diskusi dan “gerilya” ke tempat-tempat bersejarah yang menjadi simbol dan spirit perdamaian di kota Jogja. Penulisnya terdiri dari satu tim berjumlah sekitar 40 orang. Mereka adalah generasi muda usia 18-22 tahun. Mereka berkumpul dan membuat komunitas yang menamakan diri Peace Generation (Pisgen) yang berpusat di salah satu serambi ruangan (pinjaman dari) Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. Siapa pun yang siap menyebarkan virus perdamaian bisa masuk dan bergabung bersama mereka.
 
Prestasi komunitas yang berdiri sejak 10 Juni 2002 ini tergolong cemerlang baik dalam negeri khususnya di lokal Jogja dan sesekali terlibat di berbagai kegiatan pemuda perdamaian di kancah internasional. Komunitas ini seperti sebuah rumah bagi semua generasi muda yang ada di Jogja dengan latar belakang berbeda baik agama, ras, etnis dan suku. Pisgen telah melakukan penyebaran virus perdamaian khususnya kepada generasi muda dimulai dari Jogja untuk Indonesia. Terbukti di daerah-daerah rawan konflik seperti Aceh dan Ambon komunitas ini telah menambatkan jejaringnya.
 
Setiap tahun mereka melakukan kegiatan yang dikemas dalam bentuk Peace Camp dalam rangka membicarakan perdamaian dan segala macam aksiomanya. Sejak tahun 2002 komunitas ini telah melahirkan lima angkatan yaitu Youth Camp for Democracy and Peace (YCDP), Student Camps For Peace (SCP), Peace in Our Neighbourhood (PION), Feeling Peace in Our School (PIOS), dan terakhir adalah Jogja Peace Amizing Race (JPAR) dihelat pada awal tahun 2008 dan telah menghasilkan buku memoar penting ini.
 
Tim penulis melakukan pengamatan dan penggalian sumber informasi di sembilan tempat yang meneguhkan city of tolerance bagi Jogja. Mereka mewawancarai tokoh di daerah-daerah yang menjadi simbol dan identitas pluralisme kota gudek yang terbina dengan baik hingga hari ini. Sembilan tempat itu adalah Kraton Jogja, Komuinitas Gayam 16, Padepokan Bagong Kassudiardja, Komunitas Eben Ezer, LSM Kebaya, YAKKUM, Fakultas Kedokteran UGM, Pura Jagatnata, Vihara Budha Prabha. Penulis buku ini mencari nilai perdamaian yang diperjuangkan di balik sembilan tempat di atas.
 
Cara penyajiannya cukup enak dan enteng karena diceritakan oleh orang pertama (Aku) plus dengan sokongan gambar yang sesuai. “Aku” muncul sebagai sosok mahasiswa baru yang tidak menahu tentang Jogja. Saat itulah dimulai perjalanan panjang dan sarat nilai perdamaian di balik ornamen sejarah dan eksotisme simbol-simbol budaya yang melekat di Jogja. Hikmah di balik perjalanan itu pada akhirnya menyentuh persoalan pluralisme dan multikulturalisme yang bakal melahirkan toleransi, tenggang rasa, dan kedewasaan sikap di antara kelompok masyarakat yang plural. Melalui buku ini kita akan menemukan bagaimana mengenal dan menerima sebuah kenyataan hidup kita yang heterogen; bagaimana merawat perbedaan itu supaya tetap tumbuh indah memesona.
 
Napak tilas perdamaian ini dimulai di Kraton Jogja. Simbol kraton bagi rakyat Jogja adalah segala-galanya karena dari situlah titik tolak kehidupan mereka dimulai. Rakyat Jogja merasakan ketenangan dan kedamaian berada di bawah kraton dan raja khususnya Sultan Hamengku Bowono IX, dimana pada waktu itu Belanda dan Jepang bergantian ingin menguasai Jogja. Ornamen tradisi kraton seperti instrumen musik lokal dengan tari-tarian indah semampai merupakan mediasi demi mencapai ketenangan dan kenyamanan bersama bagi rakyat Jogja di tengah gedebus genderang perang penjajah.
 
Upaya kraton untuk melindungi rakyat agar aman juga terlihat dari catatan historis pembangunan Selokan Mataram. Selokan ini dibangun atas inisiatif sultan HB IX demi menyelamatan rakyat Jogja yang diincar menjadi pekerja rumosha oleh Jepang (hlm 17).
 
Ekspedisi selanjutnya sampai di Komunitas Gayam 16. “Aku” semakin yakin bahwa jalan menuju damai begitu banyak. Salah satunya adalah seni tradisi warisan nenek moyang seperti gamelan yang dikembangkan di komunitas ini. Pada perangkat gamelan akan ditemukan perpaduan birama dari instrumen yang komplit menjadi irama merdu dan kaya akan makna ihwal sebuah penciptaan yang kuat dan murni. Kedekatan seni dengan nilai-nilai perdamaian juga ditemukan di Padepokan Bagong Kassudiardja, sebuah komunitas seni yang sekarang digawangi seniman Butet Kertarajasa, putra kedua Bagong Kassudiardja. Bagi kedua komunitas di atas peran seni bisa dipahami sebagai active non-violence (ANV), sebuah upaya halus dan indah demi menggugah kesadaran kemanusian. Seni selalu menawarkan solusi nir-kekerasan terhadap berbagai masalah yang ada di tengah masyarakat kita (hlm. 39).
 
Selanjutnya, “aku” yang terus melanglang sudut-sudut kota Jogja menemukan bagian penting dari dinamika kota besar, yatiu Komunitas Eben Ezer, sebuah komunitas anak jalanan (pengamen, pemulung, waria dan PSK) yang berpusat di Stasiun Lempuyangan (hlm 47). Ia menemukan rahasia terdalam di balik kota Jogja yang terkenal berpendidikan, berbudaya dan halus pembawaannya. Kisah perjalanan itu dirasakan semakin lengkap ketika ia sempat bertandang ke LSM KEBAYA alias Keluarga Besar Waria Yogyakarta, sebuah lembaga penggiat masalah eksistensi waria di Jogja. Di lembaga ini kita dapat menemui Mami Vin, seorang penggerak yang tak kenal lelah sehingga berhasil membawa nama KEBAYA sebagai lembaga waria paling solid di Jogja bahkan di Indonesia.
 
Membangun Solidaritas
 
Persinggahannya di Eben Ezer dan KEBAYA mengajarkan tentang solidaritas antar sesama demi menggapai kebersamaan dan kedamaian. Solidaritas yang dibentuk pun bukan sekedar solidaritas deskriptif tapi normatif. Solidaritas normatif adalah bentuk solidaritas dimana seorang tidak hanya merasa simpati semata tetapi sikap itu diterjemahkan dan diintegrasikan secara afektif, kognitif dan aksi untuk membantu mereka yang membutuhkan (hlm. 57-58). Ujian solidaritas itu akan dietemukan ketika kita singgah di YAKKUM, sebuah komunitas bagi penyandang cacat atau kaum difabel yang terletak di Jalan Kaliurang KM 13.5. Di sini rasa manusiawi akan diuji ketika berhadapan dengan sosok insan yang ternyata tidak sesempurna kita. Kesadaran tentang potensi dan kekuarangan manusia akan terketuk di sana.
 
Tentang resolusi konflik dan cara kita bergaul dengan anak bangsa yang sempat bersitegang dengan kita dapat kita pelajari dari perjalanan sang tokoh ketika mampir ke Fakultas Kedokteran Internasional UGM dimana mayoritas mahasiswanya berasal dari Malaysia. Bagaimana kita membayangkan kelancangan negeri Pak Cik itu ketika mengklaim hasil ciptaan dan tradisi tulen bangsa Indonesia? Namun, napak tilas tokoh utama kita ini mengajarkan bagi semua bangsa bahwa dialog dan silaturahmi adalah aksi terpenting demi mewujudkan perdamaian bersama. Mahasiswa Malaysia yang tinggal di Jogja merasa bisa tenang dan nyaman belajar oleh karena sikap generasi muda kita yang bertanggung jawab untuk mewujudkan kedamaian di negeri ini.
 
Di bagian akhir memoar perjalanan ini pembaca akan menemukan kekayaan budaya dan agama yang ada di Jogja. Ada Vihara Budha Prabha di jalan Brigjen Katamso dan Pura Jagatnata di Banguntapan. Dua simbol pluralisme agama itu mengisyarakat kompleksitas budaya dan tradisi Jogja sebagai Indonesia mini. Namun demikian, masih banyak budaya dan simbol tradisi sebagai penjunjung nilai perdamaian yang tidak terangkum dalam memoar perjalanan singkat ini. Sehingga di akhir perjalanan sang tokoh menuliskan: “dan ini bukan akhir dari sebuah perjalanan?…” (hlm 107) karena jalan menuju damai memang masih panjang tetapi bukan berarti jauh.
***
 

*) Bernando J. Sujibto lahir di Sumenep, 24 Februari 1986. Menulis puisi, esai, cerpen, artikel dan resensi di berbagai media massa lokal dan nasional. Karya-karyanya dapat ditemukan dalam beberapa antologi bersama. Aktif di sejumlah komunitas seperti Komunitas Kutub dan Teater ESKA UIN Yogyakarta. Setelah menyelesaikan studi sarjananya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia melanjutkan pendidikan pascasarjana di Universitas Selcuk, Turki. Saat ini ia tercatat sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Buku-bukunya yang telah terbit antara lain: Aku Mendengarmu, Istanbul (Diva Press, 2018), Harun Yahya Undercover (Ircisod, 2018), Turki Yang Tak Kalian Kenal! (Ircisos, 2017), Seribu Warna Turkiye (Ircisod, 2018), dan Rumbalara Perjalanan: Kumpulan Puisi (Diva Press, 2017). http://sastra-indonesia.com/2008/11/napak-tilas-perdamaian-dari-jogja/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar